December 8, 2023
Pondok Pesantren Darun Nun Malang

Malam menghitam, pagi pekat, siang penat, sore pun semakin kelam menggeliat. Duniaku menjadi suram, tatkala lonceng pernikahan berdentang. Tetangga berbahagia, rakyat bersuka. Namun hanya angkara yang menelisip sudut ruangku. Rumah cat merah disudut jalan. Ayahku berkulit hitam legam, tak lagi punya keramahan manusia. Semua jadi kelam.
– Empat bulan kemudian, dua bulan setelah ibuku terenggut dari dunia –
“aduh! Gila! Sudah jam berapa ini…”
“TING TONG… JAM MENUNJUKKAN PUKUL SEPULUH, JAM PELAJARAN AKAN DIMULAI SEPULUH MENIT LAGI, KEPADA SEGENAP SISWA DAN GURU HARAP SEGERA MEMASUKI KELAS”
“Nahloh, belnya dah bunyi”
Derap langkah Santi layaknya badai di pagi hari yang siap menerkam waktu, berlari, membumi nafsu agar cepat sampai di kelas. Kelas baru, dengan bau khas cat pelitur yang masih belum sepenuhnya kering. Kelas yang baru selesai di bangun 2 minggu lalu untuk ditempati anak-anak kelas dua berseragam abu-abu putih. Hari ini, hari pertama masuk setelah liburan kenaikan kelas yang telah lama diidam-idamkan setiap murid. Hari ini, lonceng dan bel kembali berdering riang disahut dengan teriakan gegap gempita para siswa. Semua bunyi lonceng mereka sukai, kecuali lonceng masuk kelas, pasti kata-kata yang keluar adalah “uuh! Kenapa udah masuk sih”, “Aduh! Males ketemu pak guru itu”, “lagi-lagi matematika… huft!”. Kalimat yang sangat biasa.
Santi memasuki kelas dengan gelak napasnya yang memburu buta,  seragam putih abu-abu nya telah melekat erat ditubuh membentuk gumpalan-gumpalan lebar akibat keringat yang memandikan kulit putihnya. Beginilah akibatnya, bila mendapatkan kelas di lantai dua, dengan letak persis di ujung lorong, berdampingan dengan kamar mandi kumal. Membuat jarak semakin menghampar luas, melumat segenap tenaga yang tersisa mengejar waktu untuk berlari. Genap dua perumahan Santi tempuh dengan berlari. Tidak lebih jauh daripada memilih sekolah favorit di samping stasiun, yang jaraknya dua kali lipat dari gedung ini. Namun, jarak ini telah cukup membuatnya kehilangan napas dengan luar biasa cepat.
“Fiuh!! Syukurlah, sampai juga… untung aku bisa manjat tebing berduri itu, jadinya… hahahaaa… dasar satpam bodoh!” sambil menjinjing tas menuju kelas
seringai Santi terhenti seketika, saat menyadari tak ada lagi bangku kosong tersisa di ruang kelas yang baru itu. 
“Asem! Mereka kemanain bangku jatahku? Masak ada tempat kosong gak ada kursinya… Shit!”
Dengan gerutu yang bergejolak merdeka di lubuk Santi, terpaksa dia putar kepala, pergi ke gudang penyimpanan untuk mengambil kursi dan meja yang masih tersisa. Dia tarik sekuat tenaga kursi yang bertumpuk di depannya dengan debu setebal bulu Denis, kucing persianya di rumah.
Prak!!
Ternyata ada orang lain di gudang ini,
“Hei! Sorry, gelap…”
“ooh… orang, it’s okay”
Santi pun, melenggang santai menyeret kursi dan mejanya ke ruang kelas tanpa mengabaikan manusia yang baru ditemuinya. Setelah siap dengan kursi dan mejanya, santi meletakkan tas ransel biru tua dengan sobekan sebesar 5 cm di bagian depan, tepat di samping resleting yang terbuka separuh lantaran telah rusak itu ke loker mejanya. Sreek… Sreek… Sreek.. nampak laki-laki yang dia temui digudang tadi memasuki kelas.
“boleh ya, aku naruh bangku di sini, disamping kamu. Emm… Santi?”
“boleh, emm… Dali?” sambil menunjuk papan nama di dada lelaki di depannya
“makasih, salam kenal… aku Dali” sambil mengulurkan tangan menyambut pertemanan
“Oh iya, salam kenal. Aku Santi”mengabaikan tangan Dali
“kamu anak baru ya? Aku kok gak pernah lihat kamu ya…”
“emm… iya, aku pindah dari sekolah samping stasiun”
“sayang banget… itu kan sekolah favorit, berarti kamu pinter ya”
dan obrolan mereka pun semakin berkembang, hingga tanpa di sadari lonceng masukpun berbunyi. Disekolah ini, untuk jam istirahat digunakan lonceng besar sedangkan untuk menandai jam masuk dan habisnya jam pelajaran digunakan bel yang menggunakan aliran listrik untuk berteriak. SMA swasta, di ujung kota yang menjadi tempat pembuangan anak-anak Madesu –masa depan suram – setidaknya begitulah para guru dan orang tua menjuluki mereka. Mereka anak-anak yang sama sekali tidak suka belajar, pandai berkelahi, pecandu game sejati, atau anak-anak yang luar biasa jenius sehingga sekolah biasa tak akan mampu menampung kejeniusan anak-anak ini. Kalau ada yang mencari gudangnya pelari tercepat, atlet tinju, atau bahkan sampah masyarakat maka ini adalah tempat yang sangat tepat.
***
Tengah hari, di bulan Juni dengan hujannya yang berderai. Mengabarkan debaran jantung yang menggeliat, menusuk niat. Cipratan darah disudut-sudut tembok bengis di bawah jembatan pinggir kota, aliran sungai menderai ramai mengiringi helaan napas tergesa para muka bopeng bersimbah peluh dan luka. Dentum hantaman keras, menusuk tembok dengan ganas, hawa dingin menjadi saksi bisu kepiluan dua pemuda yang saling menatap garang. Haus darah, buta akan nafsu, semua ingin menang, semua tak mau terpisah dari harga dirinya.
Byuur! Tak pelak hantaman ke arah kepala, menjadikan pemuda itu tersungkur berderai imbas air dingin sungai Angin. Tak mampu lagi dia mengelak, robekan baju putihnya yang telah berubah menghitam ternoda tanah liat, nampak tergenggam erat ditangan sendu lawannya.
“Cukup! Aku lelah. Kamu kalah!”
menyambar ransel biru tua dengan robekan sepanjang 5 cm tepat di samping reseleting yang terbuka separuh. Dia melenggang meninggalkan medan laga dengan dada yang masih menderu merdu. Berlari, menghilang ditelan senja yang semakin padam. Pemuda itu, ditinggal sendiri ditengah sungai yang tak lagi dalam, karena tumpukan kerikil dan sampah yang ditanggung warga pinggir kota.
Tak mampu lagi dia berdiri, dengan sisa tenaga yang masih ada diraihnya ransel yang sebagiannya telah tergenang air sungai, lantaran semakin meluap akibat hujan bulan Juni.
“Halo bro, aku di bawah jembatan, aku kalah… tolong kesinilah, aku gak bisa gerak”
Tuut… tuut… tuut… telefon ditutup.
Di sudut lorong, di depan kamar mandi nampak hawa muram. Seakan seluruh langit mendung, menghitam, bergumpal di sudut itu. Ada sesosok anak perawan, sesegukan menggugu menanggung tangis pilu. Butiran air matanya tak dapat membohongi dunia, bahwa ada yang salah dengan gadis ayu keturunan cina-jawa itu. Gadis pintar, yang dikeluarkan sekolah karena pergaulan, bukan karena kebodohan.
“kamu kenapa Santi? Ada yang sakit? Kamu baik-baik saja?”
Tatapan gadis itu, mengarah tepat ke dalam mata kak Nia, gadis tertua seangkatannya. Jauh, jauh ke dalam, pandangannya ingin bercerita banyak namun mata sayunya tak mampu berkata. Bibirnya bergetar kelu menahan rasa sakit teramat sangat. Rasa malu memaksanya tuk menjauhi daya, perasaannya begitu… sungguh, tak ada yang tau apa sebabnya, semua teman perempuan tak ada yang berani mendekat, hanya kak Nia. Rengkuhan kak Nia, meluluhkan keegoan Santi kala itu, bumi runtuh seketika.
“Santi… Santi… Tolong teman-teman… dia kenapa?”
Pukul 01.00 siang
Gadis muram itu telah menemukan kembali nyawanya, menyambut pelajaran terakhir. Diulurkannya lengan ke dalam loker mejanya, berharap menemukan pena dan buku. Jemarinya meraba sebuah bentuk yang tidak asing, namun dia sama sekali tak ingat pernah meletakkan bentukan itu di dalam lokernya. Di tarik jemarinya yang telah memegang kertas kumal, “apa ini?” gumamnya, dengan tergesa dibukanya kertas kumal berbau kesal.
Hei kamu! Jangan sok jago kamu disini, kalau berani temui kami d lapangan setelah pulang sekolah. INGAT! Pukul 3 tepat!. Tunjukkan nyalimu Brengsek!
Semacam ada yang menelisik, mengurai mengusik kedamaian yang baru saja dia temukan, memecahnya menjadi kepingan, kemudian tersulut dan terbakar musnah.
“kalian kira aku takut. Shit!!”
Pukul 3 sore
Hamparan rumput yang mulai mengering itu, mengabarkan kebencian, kebengisan, emosi yang meluber memenuhi tahta keberanian, menciptakan simfoni hitam bernada kelam. Langit kala itu, yang sedari tadi cerah ceria bergelak merah padam dengan nada suram. Mengikuti derap langkah gadis sayu, dengan tekad beradu tak mampu membuat nuraninya membisu. Angin menjadi kelu seketika itu.
Nampak dari kejauhan 3 orang pemuda telah menunggu, tangan mereka nampak memegang pusaka. Pusaka sakti layaknya keris empu gandring yang siap menerkam siapa saja yang menyapa. Gelak tawa mereka tehenti seketika, manakala tatapan mereka menangkap sekelebat bayangan orang terhujat.
“Heissshh… cecurut itu punya nyali rupanya”
Hei Kampret! Tangkap ini… gue gak mau ngelawan orang gak punya senjata”sambil melempar sebilah potongan pipa air sepanjang dua meter berwarna putih, diameternya hanya 1 senti saja.
Serangan seketika itu langsung melesat, menyergap pandangan gadis belia itu. Tak pelak darah segar mengucur dari pelipis kirinya. Rambutnya yang sedari tadi terikat rapi, kini meronta dari empunya. “Bluuk…!” badannya tak sanggup meregang kuat tanah yang dipijak.
“Hwahahahaaa…!!! cewek lemah! Cuuihh…!”
Ada yang berderap kencang dari arah dalam dada kirinya, adrenalinnya kuat menyergap kesadaran, membuatnya hilang akal, deru napas menjadi saksi kebangkitan iblis sanubari.
Satu, dua, tiga, dengan senjata potongan pipa Santi buta menyergap mereka yang ada disana, terkapar layu satu persatu. Bukan, bukan satu. Perlahan semakin bertambah mereka yang gemar mengusik ketentraman jiwa Santi.
2 jam kemudian
Gelak napasnya memburu, memicing, mengintip berapa orang disana dan ada beberapa yang masih tersisa. Satu. Iya, satu orang yang masih tegak berdiri. Dia datang seorang diri, disaat terakhir pertempuran. Pemuda yang tak pernah ikut kelas olahraga, ini cukup mengherankan. Kenapa dia disini? Diantara mereka? Bukankah dia lelaki lemah?
Tanpa diduga, pemuda itu mendekati arena pertempuran, mengulurkan senjata atau lebih tepatnya disebut perangkat dapur yang disulap menjadi senjata. Sebuah penggorengan telur, anti lengket, dengan gagang yang terbuat dari besi. Berat? Iya, penggorengan itu cukup berat. Pemuda itu menatap lekat jauh ke arah kedalaman mata Santi, seakan mau menyerahkan hidupnya. Benar-benar sebuah pengharapan atas pertolongan seorang kawan.
Perlahan derap langkahnya semakin mendekat, namun apa yang terjadi? Dia berhenti! Dia berhenti, dan justru menyerahkan penggorengan di tangannya ke tangan para berengsek di hadapan mata Santi. Bukan untuk Santi!
“Apa?!! Kamu! Penghianat…” pemuda itu, seketika itu juga membalik arah dan mencabut pisau yang tertancap di tembok koyak, bersimbah luka dan darah nampak semburat merah.
Pemuda itu, mengacungkan pisau yang berhasil ditariknya pada Santi
“Kalian jahat! Kalian semua brengsek…! pengecut! Aku benci kalian, Sialan!”
Kekecewaan yang menghujam, menarik kaki-kaki Santi untuk berlari. Jauh. Menjauhi warna pasi dari arah lapangan. Lari… lari… sejauh-jauhnya. Jauhi mati.
***
“Santi, kamu darimana? Kenapa kotor sekali? Ini, matamu?”
“oh, kak Nia. Bukan apa-apa. Apa ini kak?”
“ini, kegiatan sosial kami membagikan makanan untuk orang puasa yang lewat jembatan”
“oh…” kembali melenggang, acuh
“emm… kak, boleh minta? Aku juga puasa ini”
“iya Santi, tapi… kertas pembungkusnya sudah habis, lauknya juga”
“tak apa kak, pake ini saja…”
“apa? Tempat nasi sebesar ini?”
“iya kak, penuhi saja, pake kerupuk aja gak papa kak”
“Baiklah… ini, makan yang banyak ya… nanti kalau kurang, kembali aja ya… masih ada banyak kalau Cuma nasi”
“makasih kak…”
setelah menerima apa yang dimintanya, Santi berjalan ke arah jembatan membawa luka dan nasinya yang masih mengepul hangat. Dari kejauhan, nampak seorang lelaki dengan sepeda birunya melesat dengan kecepatan super, tergesa berlari ke arah kak Nia, sesaat kemudian berlari ke arah jembatan. Jaket merahnya tampak berkibar-kibar.
“Santi, Are you allright?”
“huh…”
“Santi, lihat aku… kamu gak papa kan?”sambil, menyerondol, menyenggol jasad Santi yang masih memegang tempat nasi besar.
“oke, kalo kamu mau aku pergi. Aku pergi” tak sabar, dalam hitungan detik lelaki ini melepas cengkeraman tangannya dari bahu Santi, dan membalik tubuhnya. Mengalihkan pandangan, jatuh tertunduk pilu.
Hanya berselang lima detik sejak lelaki itu mengalihkan muka. Terdengar suara “Byuuurr..!”tubuh santi tak bergerak, jatuh ke sungai di bawah kaki mereka.
“Santi!!” Byuuurrr…
Setelah bersusah payah kemudian…
“Dali…”
“Santi, kamu gak papa?”
“iya…”
“maafkan aku… baiklah kuberikan harga diriku buat kamu”
***
Namaku Dalimunte, bisa dipanggil Dali atau Munte. Sebetulnya orangtuaku tidak begitu tau arti namaku. Orang tuaku tidak punya kerabat dari Minangkabau ataupun sebuah nama spesial. Namaku diambil dari tempat kelahiranku. Gang Doli, iya disanalah tangisan pertamaku pecah. Kata nenek, Munte adalah plesetan dari kata “Aldente” yang sering terucap dari chef di iklan saos spageti ala Italia. Kesukaan Ayah.
Hari ini, aku mendapat surat panggilan dari Munchen University di Jerman sebagai balasan atas pengajuan beasiswa sarjanaku. Syaratnya, aku harus segera berkemas dan melanjutkan Sekolah Menengah Atas di sana. Sebuah pilihan yang sulit, mengingat aku harus meninggalkan kekasihku. Santi Eka Wulandari. Dia lebih layak mendapat beasiswa ini, daripada aku.
Perangainya kasar, tak ada bedanya dengan preman pasar. Secantik Ken Dedes, Sepandai Einstein. Benar-benar gadis yang luar biasa menarik. Luka yang bersarang di sekujur tubuhku kini. Masih terasa perih, sisa pertikaian kami kemarin. Dia membuatku benar-benar tak dapat bergerak. Dia berkelahi layaknya laki-laki tangguh lainnya. Akibat keputusanku lebih memilih dirinya daripada masa depanku. Impian kita.
Amanatul Mubtadiah
Malang, 18 Sep. 15
PonPes Darun Nun-Bukit Cemara Tidar F3/4, Karang besuki, Malang
terserak dari buaian angin dunia, seorang gadis buta akan cinta sementara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *