November 30, 2023
Kalau boleh aku mengisahkan tentang perih, tentang pedih, atau apapun. Tentang awan, hujan, kawan, ataupun sungai pasti nama yang ku pilih tetap satu yaitu kau Sora. Ao No Sora, dalam bahasa Jepang artinya langit biru. Tentang lagit biru, siapa yang tak tahu? Siapa yang tak pernah menyapa keberaadaannya dan siapa pula yang tak mengakui ketingggiannya. Tentang dia,bukan rahasia lagi begitupula tentang sungai, rumput, embun, kabut dan apapun tentangmu. Ah! Tak ada guna meredam resah, semakin membuatku gelisah. Memungut jaring-jaring laba-laba untuk menguatkan hati, berharap jaring-jaring yang kutemukan sekuat milik Doflamingo, raja Dressrosa. Setidaknya itu yang tergambar di awangku setiap kali bagian tubuhku ada yang patah dan terlepas begitu saja, termakan rayap, dibakar asap, atau sekedar terhanyut alunan nada sederhana.

Ini tentang renungan sebuah rasa dan asa. Aku ingin menuliskan sebuah karya, sebuah rangkaian kata asmara penggugah cinta. Ini tentang sebuah cinta tentang semesta.


Rangkaian kata-kata tersebut adalah salah satu hal yang diajarkan di Pesantren kami, Yup! Benar sekali, pesantren kami memang menjunjung tinggi arti sebuah kata, karya sastra, penenggelaman jiwa terhadap narasi. Bukan hanya sekedar drama kehidupan yang diisi dengan memaknai tulisan kriting pada kertas kuning, sebut saja kitab sakti berisi ilmu akhlak, fiqih, nahwu, pendidikan, dan yang banyak lainnya. Penulis yakin banyak orang akan menganggap bahwa semua itu melulu tentang ilmu akhirat. Apa sih Akhirat? Akhi berarti saudara, Rat berarti tikus, jadi saudaranya tikus? Hehee… Tidak! Bukan seperti itu… kalau yang seperti itu, hanya definisi untuk mengisi mulut dengan gelak canda, sekedarnya saja. Akhirat adalah alam setelah kehidupan di dunia, menurut kamus besar bahasa Indonesia. Tempat persinggahan sebelum kehidupan sesungguhnya dimulai. Tapi banyak manusia lalai, termasuk saya sendiri.
Tidak, tidak, dalam tulisan ini penulis tidak sedang membahas tentang seperti apa akhirat itu, tapi bagaimana keindahan akhirat dapat terwujud dengan salah satu ilmu dunia. Ilmu Alam, sejak dalam kandungan manusia telah memanfaatkan berbagai fasilitas yang disediakan Allah berupa alam semesta dan seisinya. Bagaimana tidak? Makan saja kita butuh tanaman, pakaian, siapa yang menyediakan jika bukan para tanaman. Hendak tidur, kita menggunakan selimut, bantal, kasur yang semua dari tumbuhan dan material yang ada di alam. Bangun tidur, minum air yang telah disaring oleh tanah untuk dapat dipergunakan manusia sepuasnya. Sarapan pagi? Berangkat kerja? Mengantar anak-anak kesekolah? Mencatat pesanan ataupun tugas kuliah? Tak ada satupun yang dapat dilakukan manusia secara mandiri, mutlak memanfaatkan pemberian Alam.
Mungkin yang sering terselip di fikiran kita adalah, “kenapa tidak? Kita kan memang diciptakan sebagai khalifah di bumi, kita diperbolehkan memanfaatkan apapun, menghabiskan apapun”. Baiklah, tidak ada yang salah dengan pemikiran tersebut, hanya saja bukankah manusia diciptakan sebagai khalifah? Bukan sebagai perusak kan? Tidak dapat dipungkiri, kebanyakan dari kita manusia pasti memiliki pemikiran sedemikian. Tanpa disadari, ketika menggunakan air misalnya tanpa segan-segan, tanpa ragu kita menggunakan secara berlebihan, diluar kebutuhan kita. Semisalnya ketika mencuci pakaian, mandi, meskipun sudah bersih tetap kurang puas rasanya kalau belum disiram lebih lagi dan lagi.
Pesantren adalah sebuah tempat dimana santrinya diajari untuk mempelajari ilmu Al-Qur’an dan hadist. Penulis sangat yakin bahwa setiap yang pernah belajar Islam pasti sering mendengar tentang pernyataan bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah di muka Bumi ini. Baik, mari kita telaah lebih lanjut tentang peran khalifah disini. Khalifah disini tidak hanya sekedar memenuhi tugas manusia untuk ibadah ritual berupa sholat, puasa, zakat, haji, berdzikir namun lebih dari itu ini tentang menghormati alam ciptaan Allah. Menghormati makhluk Allah yang bernama Air, Pohon, Rumput, Bunga, Beras, Udara dan masih banyak teman-temannya dengan nama yang berbeda. Kesadaran tentang keberadaan dan peran mereka sebagai makhluk kepuyaan Allah merupakan hal mutlak yang tidak bisa ditentang. Jadi semua itu bukan hak kekuasaan manusia, melainkan hanyalah makhluk Allah yang diberi kepercayaan untuk menemani manusia selama di dunia.
Santri dan pesantren identik dengan kedekatannya kepada pencipta alam semesta, Allah Ta’ala yang mana sudah dapat dipercaya sebagai manusia yang sedikit banyak telah belajar mengenai hukum Allah berikut perintah-perintahNya. Dalam hal ini penulis akan membahas tentang penggunaan air. Salah satu jenis makhluk yang diberi tugas untuk menemani manusia dalam rangka mensucikan diri. Sebutlah santri, seringkali penulis temui menggunakan air secara berlebihan dengan alasan kesucian. Membilas pakaian secara berkali-kali dengan jumlah air yang diluar batas padahal secara kesucian pakaian yang dibilas sudah tidak terdapat kotoran yang menyebabkan najis. Berwudhu misalnya, sebenarnya cukup hanya menggunakan 5 liter air, tanpa peduli menggunakan dengan kadar yang jauh lebih banyak dengan alasan kesucian dan seterusnya.
Sebagaimana sering di jelaskan dalam berbagai kitab fiqih, bahwa yang termasuk benda-benda najis adalah darah, nanah, kencing, kotoran, muntah, madzi, wadhi, khamr, babi, anjing, bangkai kecuali bangkai manusia, ikan dan belalang. Maka cukup jelaslah bahwa debu ataupun tanah dimana ditempat tersebut tidak terdapat hewan yang membuang kotoran disembarang tempat, hewan najis seperti babi dan anjing, ataupun darah yang tercecer maka tetap suci sebagaimana hadis berikut : “Jika salah seorang di antara kalian menginjak najis dengan sandalnya, maka tanah adalah pensucinya.” ( HR. Abu Daud. Hadist Sahih). Dari hadis tersebut cukup dapat dipahami bahwa tanah adalah suci. Oleh sebab itu, tidak perlu menggunakan air untuk menyiram pakaian, lantai, dan barang-barang lain secara berlebihan dalam rangka bersuci.
Mengenai teladan Rasulullah dalam menggunakan air untuk bersuci, mari perhatikan hadits berikut:
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ بِالْمُدِّ، وَيَغْتَسِلُ بِالصَّاعِ، إِلَى خَمْسَةِ أَمْدَادٍ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan satu mud (air) dan mandi dengan satu sha’ sampai lima mud (air)” (HR. Bukhari no. 198 dan Muslim no. 325).
Satu sha’ sama dengan empat mud. Satu mud kurang lebih setengah liter atau kurang lebih (seukuran) memenuhi dua telapak tangan orang dewasa. Berdasarkan hadits tersebut, dapat difahami bahwa Rasulullah menggunakan air cukup sedikit untuk bersuci. Hemat penulis, hal ini tidak hanya terkait dengan letak geografis tempat tinggal Rasulullah yang berada di daerah Arab, yang mana tidak terdapat air yang banyak, namun lebih kepada dalam rangka menghemat penggunaan sumber daya Alam berupa air. Bisa dibayangkan, bahwa daerah Arab tidak senantiasa gersang, namun juga ada kalanya terdapat air yang cukup melimpah terlebih lagi dengan kehadiran Rasulullah maka alam sekitarnya menunjukkan kebahagiaan dengan keberkahan melimpah. Meskipun begitu, kelimpahan air tidak menjadikan Rasulullah menggunakan air secara berlebihan, justru Rasulullah mencontohkan perbuatan yang sebaliknya. Hemat air bukan lagi melulu urusan mencintai sumber daya alam, namun juga terdapat sunnah Rasul yang wajib dijadikan contoh teladan perbuatan yang selayaknya dilakukan.
Penghematan penggunaan air dapat dilakukan pesantren secara global dengan penanaman rasa cinta alam dalam setiap pengajian, baik ketika membahas tentang tauhid, fiqih, maupun balaghah misalnya. Tindakan secara tentu harus dilakukan segenap anggota pesatren, termasuk pengurus dan utamanya dicontohkan oleh pengasuh. Pesantren sebaiknya memiliki keran air untuk mandi yang menggunakan shower untuk menghemat air. Biaya pembelian keran cukup mahal? Apalagi dengan jumlah kamar mandi yang jumlahnya puluhan? Hal ini dapat disiasati dengan menutup lubang keran mandi menggunakan tutup botol yang telah dilubangi, dimodifikasi dengan lubang yang dapat menyebarkan air merata keseluruh tubuh. Tata kelola air yang baik, misalnya air musta’mal bekas wudhu dapat ditampung untuk digunakan mencuci, baru kemudian untuk membilas menggunakan air yang baru. Air bekas mencuci, mandi, dapat ditampung untuk kemudian difilter sehingga dapat digunakan untuk mengisi kolam ikan, menyiram tanaman taman pesantren dan masih banyak langkah yang dapat diterapkan.


Itulah sedikit usaha yang dapat dilakukan dilingkungan pesantren dalam rangka mengikuti sunnah Rasul sekaligus menjaga alam sekitar, utamanya menghemat air. dengan langkah sedikit Hal ini bukan karena keterbatasan air semata, namun meskipun pesantren berada di tempat yang murah air, namun dengan menghemat jumlah penggunaan air pesatren ikut menjaga keberlangsungan masa depan. Bukankah manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di muka bumi?

Wassalamu’alaikum wr. wr.

Amanatul Mubtadiah
Pondok Pesantren Darun Nun Malang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *