Berbicara tentang pengalaman, tak banyak yang dapat saya ceritakan dari kehidupan sehari-hari. Sehari-hari hanya berkutat dengan notebook, kamar mandi, piring dan nasi, kasur, sandal, kecoak dan kawan-kawan di pesantren. Sekilas tak ada yang istimewa, ini serius. Saya adalah mahasiswa semester akhir yang butuh banyak motivasi untuk move on, move on dari segala yang bersifat menyakitkan. Termasuk perasaan tertekan dan rasa ketakutan. Phobia tugas akhir, heheee…
Baiklah, karena tulisan ini seharusnya bercerita tentang pengalaman maka seharusnya isinya tentang pengalaman. Pengalaman adalah sebuah persepsi yang diperoleh dari pemahaman berdasarkan kejadian yang telah lampau, buka kamus besar bahasa asal jadi. Jadi begini, selama tidak lagi bekerja di sebuah sekolah menengah kejuruan negeri di Malang ini kehidupanku menjadi semakin menyakitkan, meski begitu pengalaman tetap menjadi seuatu yang indah untuk dikenang. Pada mulanya, aku hanya mahasiswa bodoh yang biasa, normal, sampai suatu hari salah satu tetangga menyebut namaku dengan nada menyapa di masjid perumahan. Beliau adalah kepala sekolah di salah satu SMK negeri di kota ini. dengan statusku sebagai mahasiswa yang kebetulan memilih jurusan yang sama, beliau memintaku untuk membantunya sebagai guru pengganti kelas yang tak bisa diisi beliau. Dari sini, pengalaman yang serba baru satu-persatu mulai memburuku.
Aku yang pada dasarnya tidak begitu menyukai anak kecil, sama sekali tak pernah berdoa untuk menjadi guru, bahkan setiap kali ada tawaran untuk bimbingan belajar, tak pernah sekalipun aku terima. Karena tak ada keinginan menjadi guru, itu saja. Entah hembusan angin darimana, aku bersedia kali ini. menjadi guru itu luar biasa ternyata, tak hanya tentang kepandaian dan penguasaan materi pelajaran, namun juga dibutuhkan kemampuan public speaking yang baik. Selain itu, yang berhubungan dengan kurikulum dan perangkatnya yang amat memusingkan, terlebih latar belakang jurusan yang kuambil tidak ada hubungannya dengan pendidikan, sama sekali.
Selayaknya guru baru, besok adalah hari pertama, jadi aku harus tampil perfect. Membuat materi ppt, yang bagus, mencari cara penyampaian yang baik, memikirkan segala cara agar para murid menjadi faham. Semua harus dimulai dari awal. Lembur? Tak apalah demi misi mencerdaskan anak bangsa. biasanya, aku akan terlelap begitu jam menunjukkan pukul 11.00 malam, namun kali ini kau akan bertahan sampai jam berapapun sampai aku puas. Tibalah waktu pagi hari pertama yang cerah, sejak pertama membuka mata aku harus benar-benar fit, sehat, ceria, dan pastikan dalam kondisi mood yang bagus. Oke, aku siap dengan baju batik dan sepatu karet yang biasa kugunakan untuk kuliah, maklum sepatu pantofel masih tenang di rumah bunda.
Niatnya sih Setengah jam sebelum bel masuk aku sudah ada di sekolah, tapi malang karena keasikan sarapan jadi 5 menit sebelum bel aku baru sampai. Sepanjang perjalanan aku sudah sibuk dengan pikiran tentang bagaimana mereka, apa yang harus kulakukan, bagaimana cara memberi salam yang baik dan seterusnya. Karena setiap sebelum masuk kelas selalu ada apel, dilanjutkan dengan tadarus sampai menyanyikan lagu nasional, jadi sekolah ini memiliki jam masuk yang lebih pagi dari pada sekolah pada umumnya. Bisa kalian bayangkan apa yang kulakukan pertama kali, bertemu dengan para guru dan murid yang sangat asing? Rasanya macam-macam, mulai dai takut, bingung, tak tahu mau bicara apa, sampai rasanya pengen pulang saja kembali tidur atau sekedar mencuci baju. Aku yang sudah sangat lama tak pernah berinteraksi dengan manusia selain warga pesantren, rasanya benar-benar menakutkan.
Akhirnya jam pelajaran pertama dimulai, aku memang sengaja masuk lebih awal dari jam efektif pembelajaran. Tujuannya hanya sekedar untuk melihat wajah mereka para murid, dan tentunya meluangkan waktu untuk diriku beradaptasi dengan suasana kelas. Pertama kali menginjakkan kaki di kelas, menatap para mata penuh warna itu cukup menarik semangat untuk menunjukkan apa yang pernah kupelajari di kelas public speaking tahun lalu. Jujur, aku memang cukup pandai presentasi di depan teman-teman sekelasku saat masih kuliah dulu. Tak ada pertanyaan yang tak bisa ku jawab (heheee… sombong dikit lah). Setidaknya cukuplah, membuatku yakin bahwa aku bisa.
Ehm… salam, pertanda pelajaran akan dimulai, tak lupa doa dan sedikit perkenalan. Karena aku memang tak pandai basa-basi, ya sudah akibatnya mereka harus serius memperhatikan permainanku tentang semua materi ini. Power point segera kunyalakan, kelas ini luar biasa, fasilitasnya sudah lengkap. Mulai dari proyektor dan segenap perangkat sound sistem sudah tersedia, tinggal colok beres. Sekarang bagaimana saya menghadapi mereka yang kurang bergairah di kelas? Bagaimana menanggapi murid yang terlampau aktif? Bagaimana dengan murid di ujung sana, baru jam pertama mau dimulai dia sudah terlelap di bangku pojokan. Ini membingungkan. Aku kalut, aku pusing, rasanya mungkin suaraku tak akan sampai pada mereka jika keadaan terus begini. Allah… kuatkau hamba. Namun perasaan itu seketika lenyap kala ada nampak mereka mengangguk-angguk kecil, menatap fokus ke materi dan muncul beberapa pertanyaan dari mulut mereka. meskipun itu pertanyaan bodoh dan konyol. Tak apalah, tandanya mereka makhluk yang benar-benar hidup, tak hanya daging bernyawa.
Hari pertama telah usai, hari berikutnya dimulai. Namun, bagaimanapun kejadiannya, bagaimanapun caranya. Murid-murid adalah para makhluk luar biasa, mereka menyenangkan, mereka seperti halnya emas yang sangat berharga, harus dijaga dan dirawat dengan sebaik-baiknya. Meskipun terkadang muncul celetukan jenaka dari mulut mereka, aku tak bisa marah. Tak bisa sedikitpun, bagaimana bisa mereka berubah menjadi makhluk paling menggemaskan di dunia, bersamaan dengan sifat yang menyebalkan. Tentunya dengan caranya sendiri, mereka menjadi istimewa.
Hari pertama, kedua, ketiga, seminggu, sebulan, tiga bulan, semua terlewati begitu saja tanpa menyisakan satu detikpun untuk ku kembali kepada mereka. Semua kejailan, kelucuan, kebandelan, kenakalan, tatapan serius, tatapan meremehkan, sampai raut ketakutan adalah hal yang pasti akan aku rindukan, kapanpun, dimanapun. Meski saat ini aku tak lagi berhadapan dengan kalian, tapi kalian tetaplah muridku yang kusayang. Tetaplah berjuang, doaku akan tetap mengalir sebagai wujud cinta dan kasih seorang kawan.
Amanatul Mubtadiah
Malang, 28 Agustus 2016
Pondok Pesantren Darun Nun Malang