December 7, 2023
Oleh Rofikatul Islamiyah
Simpang Dewandaru 15.08 WIB


Teringat kata-kata Abi tentang tulang rusuk dan teori big bang. Dari yang saya tangkap, tentang tulang rusuk itu kenapa keluar dari raga sang Adam? Sebenarnya bukan keluar, tapi menjadi jiwa yang lain untuk kemudian membersamai kita. Begitupun dalam teori big bang, yang merupakan teori mutakhir tentang penciptaan alam semesta. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh kosmolog Able Lemaitre pada tahun 1920-an. Pada awalnya semesta ini adalah gumpalan super atom raksasa yang isinya tidak bisa kita bayangkan yang suhunya antara 10 milyar – trilyun derajat celcius.  Kemudian gumpalan super atom tersebut meledak sekitar 15 milyar tahun yang lalu. Hasil sisa dentuman dahsyat tersebut menyebar menjadi debu dan awan hidrogen. Setelah berumur ratusan juta tahun debu dan awan tersebut membentuk bintang-bintang dalam ukuran berbeda. Seiring berjalannya waktu, bintang-bintang tersebut berkumpul pada pada pusat massanya masing-masing. Kelompok tersebutlah yang sering kita sebut galaksi.
Jadi sama halnya dengan tulang rusuk di atas, bahwasanya semesta ini bukan keluar atau memecahkan diri, tapi membentuk atom-atom yang lain yang menambah indahnya semesta. Dengan kekuasaanNYA taqdir tulang rusuk itu pasti kembali untuk membersamai sang pemilik juga dengan irama cinta yang terus menguatkan. Namun dalam benakku, bagaimana dengan orang yang memiliki dua atau lebih istri? Apakah tulang rusuk mereka yang keluar juga dua? Adakah yang bisa menjelaskannya?

Apa sama seperti teori big bang tadi? Bahwasanya atom yang meledak itu satu, hanya saja menjadi berkeping-keping. Jika memang demikian, satu tulang rusuk keluar bisa menjadi beberapa? Dan bagaimana dengan cintanya? Apa juga sesuai dengan besar kepingan tulang rusuk itu??
Begitu banyak yang belum saya mengerti, terutama cinta. Sepertinya lebih rumit dengan teori dentuman dahsyat ini, apa lagi ketika abi mengatakan (seingat saya)  “jarak antara bumi dan langit, bukan berarti mereka tak saling cinta dan rindu. Saat bumi rindukan langit, dia mengirimkan uap begitu pula dengan langit mengirim rindunya melalui hujan. Dengan hujan inilah maka, kesuburan bumi semakin meningkat dan lahirlah tumbuhan-tumbuhan, sama halnya dengan teori terciptanya alam semesta di atas”. Entah kenapa abi mangatakan bahwa langit dan bumi seperti teori big bang? Padahal dalam teori ini, langit tak pernah meledak, mungkin yang dimaksud adalah atmosfernya. (dalam benak sendiri). Mungkin karena otak sains sulit menerima konsep sastra.
Tentang mencintai dengan jarak, seperti teori di atas. Kau tahu, sebenarnya aku benci konsep itu. Terlalu menyedihkan. Terdengar tegar dan dewasa memang,  tapi tetap saja menyedihkan. Aku mulai mengira mungkin, analogi itu cuman pembenaran teoritis atas tragedi ketidak mampuan mencintai-dengan alasan apapun. Atau boleh jadi semacam legitimasi  bagi sebuah kerapuhan jiwa. Apa yang diharapkan dari sebuah cinta yang bahkan oleh himpitan jarak saja ia tak berdaya. Apa yang dibanggakan dari, dari cinta yang dengan segala macam pembenarannya, menyerah pada sebuah keterpisahan, pasrah pada ketakberdayaan, sementara seluruh penjuru dunia memuja kedigdayaannya. seperti Qais yang cintanya tak pernah sampai pada Laila, tak ada yang bisa dilakukan kecuali menangis hingga mati dalam sebuah keterpurukan. Apakah selalu begitu, benturan antara rasa dengan realitas yang beda rupa selalu mencipta luka? (Azhar NurunA.)
Dari penggalan tulisan di atas membuatku semakin tak mengerti tentang cinta. Belum terjawab pertanyaan di benak kini muncul lagi, keterpurukan cinta karena jarak. Apakah jarak selalu membuat masalah? Apa lagi saat jarak menyebabkan penghianatan, jarak menyebabkan orang luka. Kenapa jarak?
Bukankah jika tak ada jarak antara bumi dan matahari akan terbakar?
Jika tak ada jarak apa bisa tulisan ini dibaca dan dimengerti dalam sekali lihat?
Apakah akan ada rindu ketika selalu bersama-sama?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *