Oleh
Intani Sholihah Hafizatul Husna
Tulisan ini saya dedikasikan untuk menyambut hari pahlawan 10 November 2018
Tepat tujuh tahun silam, saat aku masih kelas satu dibangku sekolah menengah atas (SMA), moment itu menjadi moment penting yang membawaku saat ini, membawaku menjadi satu satunya sarjana di kampungku, terlahir dari keluarga tak mampu memang bukan pilihan yang tepat, harus hidup dalam teka teki kasar yang memaksamu harus memilih dan menjalani hal yang bertentangan dengan apa yang kau mau, namun ini bukan pilihan tapi takdir yang harus ku jalani. Masih lekat ku ingat saat itu, saat yang menjadi saksi hidupku, yang menjadi semangatku, memecah rasa tersisih dihatiku sebagai orang miskin yang tak mampu.
Masa masa penuh ironi, sekolah tanpa sepatu, mengenakan seragam putih yang perlahan seperti batik dengan motif titik titik hitam noda kecil yang abadi tak ada ganti, terpisah dari keluarga karena memaksa diri ingin sekolah di kota, berbekal sambal kering khas buatan ibu, perlahan menjadi jejak yang menimpaku menjadi pribadi yang kuat, kuat menahan lapar saat beras sudah habis, kuat menahan kantuk saat harus belajar, kuat menelan pahitnya cemoohan orang-orang kota yang melihatku kasar rendahan orang kampung yang mungkin bagi mereka tak layak dilihat.
Aku kemudian menjadi salah satu anak SMA terfavorit di kota ku, sekolah denagan lebel “ter“, dan satu satunya ter yang tidak aku sukai adalah termahal. Menjadi suatu kelumrahan fasilitas memang berbanding lurus dengan biaya atau dalam bahasa lainnya selalu sebanding seperti nilai aksi dan reaksi pada Hukum Newton tiga atau in dan out pada rangkaian seri. Mukaku selalu kecut menjelang awal masuk sekolah karena aku tahu rukun pertama yang harus kita lakukan adalah membayar setengah biaya spp sekolah dan aku harus pulang membawa berita duka ini pada keluargaku, dilema yang pahit, getir melilit, perasaanku entah bagaimana. Harus ku jalani pulang membawa duka ini ataukah harus diam menjadi siswa favorit guru BK karena belum belum membayar uang komite sekolah?
Saat itu aku baru saja memasuki paruh tahun yang artinya semester dua dan aku harus pulang setelah terancam sardadu-sardadu sekolah yang tak peduli aku siapa, hidup dari latar belakang keluarga mana, dan tak mau tahu aku sesusah apa, kini aku harus pulang tidak dengan kabar gembira bahwa aku masuk tiga besar kelas, tidak dengan kabar aku sebagai juara olimpiade, tapi aku membawa sebuah berita yang menghapus wajah ceria orang tuaku. Berat lisanku untuk berucap walau orang tuaku sudah tahu maksud kepulanganku, aku tak langsung menceritakan kabar duka itu, perlahan ku ikuti langkah ayahku.
Pagi itu aku putuskna mengurungkan niat menceritakannya, sudah lama rasanya aku tak kesawah lagi, tempat yang menyimpan sejuta kenangan masa kecilku, aku masih ingat saat keadaan kasar harus memaksaku menjadi pekerja keras di saat anak seumuranku di kota hidup manja, asik bermain game, sedangkan aku harus beradu dengan keadaan pahit yang menjadi aktifitas rutinku yaitu mencari rumput sepulang sekolah. Dan kini aku kembali ditempat yang penuh sejarah dimasa kecilku, dan disini jua aku kembali mendapat nasehat itu.
Perlahan akhirnya ku utarakan dengan bahasa sopan penuh dengan kiasan, sembari membantu ayahku. Ayahkuku memang sekolah hanya sampai kelas 3 Sekolah Dasar (SD), dan karena keadaan juga dia harus putus sekolah, namun ayahku pandai bermain kata (kiasan), tak butuh waktu lama maksudku berhasil ia terka. Sejenak ayahku menghela nafas panjang kemudian tersenyum kearahku sembari berkata “terus saja bersekolah dan yakin dimana ada keinginan pasti ada jalan ” ayah dengan yakin menjawab permintaanku ingin pindah sekolah saat aku tak ada biaya lagi.
Aku yakin ungkapan itu bukan sebuah kutipan yang beliau ambil dari buku sidu, karena pada masanya ayah tidak mengenal sidu, boro-boro ada buku zaman itu, ayah menggunakan batu tempat menulis, dan ini bukanlah ungkapan teoritias seorang lulusan kelas tiga SD, karena ayah tak pandai berteori seperti sarjana masa kini, yang pandai berbicara akan hal yang tak mampu merek kerjakan, ayah lebih banyak memberi contoh dengan sedikit penjelasan kongkrit. Ayah bagiku sosok pahlawan besar keluarga, sosok yang pantang mengeluh apalagi harus mengalah dengan keadaan, saat itu ayah menyekolahkan 5 orang anak, yakni dua titipan saudara dan tiga anak kandungnya, termasuk aku dan dua kakakku lainnya.
Berbekal nasehat beliau akhirnya aku melanjutkan sekolah di tahun kedua, aku mendapat beasiswa bantuan dan biaya sekolahku di gratiskan, memasuki kelas tiga aku lolos olimpiade menjadi siswa terbaik kabupaten, dan menjadi perwakilan sekolah kesurabaya, dan ketika lulus aku diterima kuliah dengan beasiswa full bidikmisi dan kini aku menjadi satu satunya sarjana dengan gelar Comlaude dikampungku, anak kampung yang dulu dekil dan sering menangis dengan keadaan dan kemudian yakin where there is will there is way bukanlah ungkapan kosong karena itu juga datang dari makna ketulusan. Pahlawanku ia ayahku, pahlawan sejati yang membuatku punya arah dan tujuan hidup
Pondok Pesantren Darun Nun Malang