Oleh : Cintia Dwi Afifa
“Hobi Baca ? langsung ku jawab, tidak. “Coba deh.. yang rajin baca buku”, kata seorang temanku dan ia ungkapkan beberapa argumennya. Dari sanalah, aku mulai rajin membaca. Awalnya interest banget, eh lama kemudian biasa saja bahkan bosen tapi kucuba terus memaksakan diri untuk menikmati lembaran demi lembaran. Sampai akhirnya membacapun menjadi hobi. Membaca adalah jendela dunia, begitulah slogan yang sering ku dengar kala SD. Dan kini, slogan itu telah benar-benar aku iya-in. Awalnya tidak tahu, jadi tahu. Keep, Upgrade your life with reading a book. Ketika anda berhenti belajar, anda berhenti tumbuh. Dan tanpa anda sadar anda memberitahu semesta bahwa anda sudah selesai- tidak ada yang baru bagi anda. Jadi, mengapa anda harus tetap berada disini ? (Oprah Winfrey).
Dari bukulah, alasan kenapa aku menulis. Membaca belum tentu menulis, tetapi menulis tentu membaca. Karena menulis tanpa membaca, bagaikan kata yang tak punya rasa. Menurut Faishal Syahreza, menulis tanpa membaca bagaikan mengeluarkan tanpa ada masukkan, apa yang dikeluarkan itu akan kosong. Bisa saja ‘bagus’, namun tidak akan tahan lama, ke’bagus’an itu akan hilang seiring habisnya asupan/masukkan (baca : bacaan) kita. Awalnya menulis, hanya kujadikan sarana untuk mencurahkan apa yang aku dapatkan dari bacaan yang baru aku baca, dan juga apapun yang kurasakan. Seiring berjalannya waktu, bacaan demi bacaan itu seakan memaksaku untuk terus menulis, menulis dan menulis. Seperti yang dibuku, Ideologiku adalah Pramis dibuku itu tertulis ungkapan Mas Muk (Nama Panggilan kecil Pramoedya Ananta Toer), “Menulislah, jika tak menuliss, maka kamu akan ditinggalkan sejarah”. Beliau juga menegaskan, “Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapapun ? karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi sampai jauh, jauh dikemudian hari”. Pada intinya menurut Pramoedya Ananta Toer ini, menulis adalah keabadian diri. Seandainya Mas Pram tidak menulis, pastilah aku tak akan pernah mengenalnya. Jangkauan ‘suara perjuangan’nya pun tak akan seluas ini. Hidup adalah pilihan, tetap dikenang atau dilupakan ?.
Dari menulis gagasan kita akan dibaca banyak orang, cerita kita akan didengar orang lebih banyak dan tanpa disadari ilmu/ pengetahuan kita bisa dijangkau banyak orang. Dengan begitu, kebaikan-kebaikan yang kita dapat, jika kita tulis akan dinikmati dan bermanfaat bagi banyak orang. Yang ku yakini, setiap tulisan mempunyai kebaikan yang ingin disampaikan pada pembaca. Hidup hanya sekali berarti lalu mati, begitulah yang disampaikan Ahmad Rifa’i Rif’an dalam bukunya. Beberapa bulan lalu, M. Yasin Arief Founder of akun Sabda Perubahan mengungkapkan “Kita harus menuangkan pemikiran kita, terserah. Apapun yang paling bermakna dalam hidup kita yang ingin kita sampaikan pada generasi selanjutnya”, karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sekitarnya. Karya itu bagaikan anak, setelah lahir kenalkanlah pada orang lain. Begitu juga karya, setelah berkarya sebarkan jangan disimpan sendiri. Biarkan karya itu menemukan penikmatnya~Raedu Basha. Karena hanya dari tulisan, suara kita akan menghapus jarak dan membunuh batas. Suara kita akan didengar lebih jauh dan lebih lama dikemudian hari, bahkan jika raga kita telah tiada.
Manusia terlahir dengan jatah usia. Panjang pendek usia telah ditentukan oleh-Nya. Sampai kapan ? kita tak perlu cari tahu, karena kita tak akan pernah bisa tahu. Yang perlu kita lakukan, adalah memanfaatkan jatah itu semaksimal mungkin. Jangan sampai ada dan tiadamu didunia ini tak ada bedanya~Ahmad Rifa’i Rif’an. Marilah kita terus berkarya, terus mengeksplor diri, tebar kemanfaatan, dan cetak keabadian. “Hiduplah dengan rasa percara diri yang besar. Karena percaya diri adalah pondasi kesuksesan. Percayalah kamu bisa, keren, dan hebat. Itu, akan meyakinkanmu atas usahamu. Salah satu cara, membangun rasa percaya diri ialah suatu karya yang diapresiasi orang lain, apapun itu. Caranya ? teruslah berkarya”, begitulah yang disampaikan oleh prof. Imam Suprayogo dalam seminar Quo Vadis beberapa tahun silam.
Pondok Pesantren Darun Nun Malang