Picture by: kisahhikmah.com
Oleh :
Nur Sholikhah
Kawan, kali ini aku akan menceritakan suatu kisah pilu yang ku saksikan 2 hari yang lalu. Kisah yang mungkin sudah banyak tandingannya di luar sana. Bahkan mungkin sudah terdengar bising di kedua telinga. Kisah yang tak ingin ku alami suatu saat nanti, saat usiaku sudah senja.
Pada suatu malam, aku berkesempatan menjenguk seseorang yang sedang sakit raga dan hatinya. Seseorang yang selama hidupnya sangat mencintai anak-anaknya, dia adalah kakak perempuan dari Bapak. Dalam istilah Jawa, aku memanggilnya Bude. Dia terkena hipertensi yang perlahan-lahan merenggut fungsi anggota badan bagian kirinya. Kaki kirinya lumpuh, begitu pun tangannya. Hingga ia hanya mampu berbaring di tempat tidur kesayangannya.
Aku datang bersama Bapak dan Ibu dengan tangan kosong, hanya ucapan salam yang bisa kami berikan untuknya. Seorang laki-laki berusia sekitar 40 tahun menyambut kami di serambi rumah, dia adalah anak lelaki satu-satunya di keluarga Bude. Dia mempersilahkan kami masuk dalam ruangan di samping kiri ruang tamunya, gorden warna merah itu menjadi penyekat sekaligus penutup ruangan ini. Tak ada yang istimewa di dalamnya, hanya terlihat satu tempat tidur, sebuah almari, satu meja, dan beberapa kursi untuk para manusia yang menjenguknya. Dan di bagian pojok terlihat 2 kipas angin dengan ukuran yang berbeda sedang berdiri gagah melawan arah.
Hujan deras telah usai bertandang malam itu, menyisakan hawa dingin dan aroma tanah basah di sekitarnya. Ku lihat tubuhnya yang kian meringsut, badannya terkulai lemah di atas kasur bisu menandakan harapan yang kian menciut. Namun berkali-kali ibu berkata, “Sebentar lagi juga sembuh, hanya perlu kesabaran dan ketelatenan.”
“Sakit darah tinggi memang seperti itu, dulu aku juga pernah mengalaminya. Tidak usah terlalu khawatir. Pasti akan sembuh.” Tambah bapak yang duduk di kursi putih dekat pintu.
Aku hanya mengangguk pelan membenarkan semua perkataan Bapak dan Ibuku, sambil sesekali tangan ini menyentuh kulit keriputnya dan memijat kakinya. Angan-angan ini terbang seketika, membayangkan kelak jika Bapak dan Ibuku dalam keadaan yang sama, akankah aku bisa menemani mereka? Rasanya aku belum sanggup membayangkan itu semua.
“Mbak hanya datang satu kali saja, apakah dia tidak pernah memikirkan keadaan ibu? Atau dia sudah terlalu sibuk? hingga menyempatkan waktu seminggu sekali saja tidak bisa.” kata Supardi, anak lelaki satu-satunya.
“ Sampai sebegitukah? Tega benar mbak-mbakmu itu.” sahut ibu yang wajahnya mulai tampak sendu.
Sekali lagi aku hanya mengangguk sebagai isyarat bahwa aku paham situasi itu, aku mendengar percakapan mereka dengan seksama. Sementara angan-angan ini masih liar berkeliaran, membayangkan apapun yang akan terjadi esok hari. Entahlah, apakah itu.
“Nanti seandainya aku meninggal, jangan bilang pada mereka.” Dengan senyum yang entah dibuat-buat atau bagaimana, Bude mengatakan hal demikian. Hampa terasa saat itu juga. Aku menunduk, seakan mengerti apa yang ia maksud. Di usianya yang senja ini, tak ada hal lain yang diharapkan kecuali kedatangan putra-putrinya. Perjuangan panjang selama merawat mereka tak ingin terbalaskan oleh apapun, kecuali sedikit waktu luang yang mereka sisakan untuk menemani masa tua dirinya.
Miris sekali melihatnya menahan pilu, aku mulai khawatir apakah suatu saat nanti aku bisa menemani kedua orang tuaku. Sosok yang menimangku kala aku menangis dulu, yang memelukku saat petir menyambar bumi, mengusap air mataku saat aku menangis sendu, yang senantiasa mendoakanku dimana pun aku berada. Akankah aku bisa mengisi dan menemani hari-hari di masa tuanya?
Semakin trenyuh melihat kenyataan di zaman sekarang, banyak anak-anak yang malah meninggalkan kedua orangtuanya di usia senja. Kesibukan dunia kerja dan baiknya rumah tangga telah membutakan hati mereka, menyempatkan waktu untuk menyuapi sesendok nasi pun tak bisa. Dalam setahun mungkin hanya sekali berkunjung ke rumah, membawakan oleh-oleh dari kota dengan segala kepahitannya. Bahkan sering terlupa, kau membawakan makanan kesukaan mereka yang tak lagi dapat diterima karna gigi yang dulu gagah mengunyah telah runtuh termakan usia. Hal sekecil itu pun kau luput.
Dan hal yang semacam itu lah yang aku takuti kawan, mungkin kini aku bisa berkata demikian karna aku sedang sadar. Bukankah suasana hati dan kejadian yang akan datang tidak ada yang tahu? Sungguh aku benar-benar khawatir jika nanti kedua orang tuaku menghembuskan nafas terakhirnya dalam keadaan berselimut sepi.
Pernah suatu saat ada yang mengatakan bahwa sepuluh anak belum tentu bisa merawat kedua orang tua, tapi kedua orang tua sudah pasti dapat merawat anak-anaknya. Itu lah mengapa bahwa kasih sayang mereka tak bisa di ukur dan dibandingkan dengan apapun juga. Cinta mereka begitu tulus, tak ada kedustaan. Semoga kita semua menjadi anak-anak yang bisa berbakti kepada orang tua, bisa menemani hari-hari di masa tuanya, bisa menyisir rambutnya yang putih dan merapuh, memotong kuku-kukunya, memandikan tubuh kurusnya dengan air hangat dan kasih sayang, menyuapi bubur putih tak berwarna, dan hal-hal kecil lainnya yang mereka lakukan untuk kita dulu. Siapa lagi yang akan merawatnya kalau bukan kita para putra-putri tercintanya.
Malang, 1 Maret 2018
Pondok Pesantren Darun Nun Malang