Kita duduk di beranda belakang rumah
Engkau menyanyikan kidung yang sudah tidak kukenal di zamanku
Aku mengamatimu
Mengurai setiap garis wajah kaki dan tangan yang mampu bercerita
Memahat setiap makna yang membisik dan menghujam ke dalam lubbku
Aku datang dengan membawa segudang perkara yang tak habis dilebur tangis
Namun engkau membiarkan semua kesakitan mendera dan menepisnya dengan senyuman
Apakah seringan itu
Kembali kutanyakan pada diriku sendiri
Sudah benarkah kunamakan diriku sebagai pemanggul masalah terhebat di dunia
Menghabiskan waktu untuk menciderai kopi dan pahitnya sebagai penawar
Melunaskan kata untuk dibawa berkelana diukir sesakit mungkin
Aku terus terkesima dengan parau suaramu
Menanyakan hal-hal sepele tentang kehidupan
Tanpa sesak tanpa riak
Aku ingin tahu
Kau bawa kemana pesakitan yang kau tanggung itu?
Adakah ia ikut musnah sebagaimana hari-harimu yang saling berdusta
Ditengah bisunya rengekan bambu di belakang rumah
Kau berbisik
Bisajadi kita meneguk kopi yang sama, tapi tidak dengan pahitnya
Pondok Pesantren Darun Nun Malang