December 8, 2023
Oleh Dyah Ayu Fitriana @fitriyesss

Saya suka mengamati. Suatu hari dalam perjalanan Malang-Batu untuk keperluan mengajar, tanpa sengaja mata saya terpaku pada seorang juru atur lalu lintas di sebuah pertigaan. Seorang kakek, berpawakan tidak gemuk dan terbilang pendek. Satu hal yang selalu berusaha saya pastikan saat melewati pertigaan itu, bahwa kakek itu mengenakan baju polisi, walau tanpa topi kebesaran. Seketika itu giliran saya sudah berkelana ke mana-mana. Kok bisa? Kakek tua dengan perawakan kecil itu bisa mengenakan baju polisi. Apa dulunya beliau polisi? Atau anaknya yang polisi? Kenapa terus pakai baju itu, padahal untuk sekedar menjadi juru atur lalu lintas pertigaan hal-hal semacam seragam itu tidak dibutuhkan. Dan kenapa-kenapa yang lainnya terus saja menjuat di dalam fikiran. Sesampainya di rumah, entah mengapa saya buka hp dan mulai merangkai kata. Imajinasi tentang kakek tua kecil berseragam polisi itu tumpah ruah, tanpa terbendung. Tulisan di hp itu kemudian tau tau sudah menjadi sebuah cerpen, yang beberapa Minggu kemudian dimuat majalah GoGirl dengan imbalan yang membuat saya cukup terkesan, wew ini uang pertama saya yang dapat dari menulis tentang pak tua itu di pertigaan itu.

Apa yang ingin saya sampaikan di sini? Setelah membaca beberapa buku dan mendengar cerita para pegiat literasi, ternyata hal yang sangat penting dan baru saya sadari adalah pentingnya kepekaan pada diri seorang yang ingin menjadi penulis. Saya sering senyum-senyum sendiri ketika berada di ruang bedah buku. Jauh jauh waktu sudah saya bilang ke teman, nanti coba dihitung, berapa penanya yang menanyakan tentang isi bukunya dan berapa yang menanyakan perihal tips menulis. Beberapa kali tebakan saya terbukti benar, banyak peserta bedah buku yang barangkali tidak seberapa ingin mengunyah isi buku dari sang penulis, tapi lebih ingin mendapatkan tips bagaimana sih agar saya bisa jadi penulis yang baik. Nah kembali lagi, pertanyaan yang seringkali terlontarkan adalah tentang ide. Gimana cara mendapat ide, bang? Ide saya mandeg ditengah, terus gimana? Saya nggak tau mau nulis apa? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu selalu saja diulang. Dan memang tidak menyalahkan, karena bagi penulis ide itu semacam hal paling berharga.

Satu hal yang saya dapatkan dalam perjalanan belajar ini, bahwa ide itu tidak perlu terlalu difikirkan dan dicari karena ide ada di mana-mana, begitu kata Pak Mashdar Zainal. Yang kita butuhkan adalah mengasah rasa peka. Kepekaan seperti apa sih maksudnya? Banyak melihat, banyak mendengar, membaca dan tidak berhenti pada kegiatan itu. Mulai mencari tahu, mengira-ngira, mengimajinasi ada apa dibalik hal yang kita lihat baca dan dengar itu? Ketika melihat seorang anak sendiri di jalanan mulai dengan bertanya, mengapa anak itu sendiri? Dimana keluarganya? Mengapa dia tidak belajar saat jam sekolah? Pertanyaan itu akan mengarahkan kita pada imajinasi yang penuh makna, barangkali anak tadi dari keluarga yang kurang mampu, ingin sekolah tapi tak memiliki biaya, barangkali bapak ibunya sudah bekerja keras tapi belum cukup bahkan untuk kebutuhan sehari-hari. Ide dapat didapatkan dimana-mana asal kita mengasah peka.

Jika kepekaan sudah terasah, apapun yang kita lihat akan menghasilkan cerita, menciptakan dialog demi dialog yang mengalir begitu saja hanya dengan mengamati apa yang ada di depan mata. So, alih-alih berkata “Duh aku ga ada ide” lebih baik mulai banyak mengamati dan mencari arti dari sana.

Salam Literasi.

Pondok Pesantren Darun Nun Malang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *