December 7, 2023

Oleh: Ahmad Nasrul Maulana 

        Mataku berkaca-kaca memandangi gambar wajah yang terpasang di dalam figora. Ini cukup berat bagiku, melewati bulan suci tanpa ditemani mereka untuk kali pertama. Biasanya kita duduk berhadapan di atas meja makan sambil menunggu adzan tiba berkumandang. Ibu yang selalu tanggap menyajikan kolak pisangnya sedang ayah yang meneguk lahap gelasnya dengan cepat. 
        Merantau adalah pilihan, dan setiap pilihan akan ada pertimbangan. Di saat Ramadhan tiba seperti ini, anak rantau harus selalu kuat untuk hidup sendiri. Melupakan segala kenangan bersama keluarga saat menyambut Ramdhan, meski perlahan. Dituntut untuk senantiasa hidup mandiri, mulai sahur hingga sahur lagi.
        “Sudahlah Yus, kau memandang foto itu sejak habis Ashar. Kau jangan berlarut dalam. Kan ada aku di sini”
        Riski, teman satu kuliah juga kamarku adalah sosok yang pertama kali ku temui saat menginjakkan kaki di negeri orang ini. Tempramennya yang kurus tinggi, wajahnya putih dengan lesung di pipinya saat tertawa juga rambutnya yang hitam lebat, menjadi satu-satunya pelabuhan tatkala aku senang maupun berang. Kelembutan dan rasa keperduliannya sebagai ciri khas anak Minang selalu aku rasakan. 
        “Jika saja aku tidak mengambil beasiswa ini, mungkin sekarang aku bisa bersenang-senang menyambut Ramadhan di kampung halaman” gerutuku pelan yang ternyata didengar oleh Riski.
        “Kau ini bilang apa ? Kau harusnya bersyukurlah bisa injakan kaki kau di negeri ini. Banyak yang bermimpi macam kita. Sadar wakk, Astaghfirullah”
        “Aku tak bisa Ris, sekecil apa pun rumahku, tetap saja tak ada yang bisa menandinginya. Sekalipun kampus ternama ini” 
        Aku melihat Riski mengambil nafas dalam-dalam, sedang tangannya menyibak rambutnya. Sepertinya ia nampak kecewa mendengar ujaranku yang menandakan bahwa aku kurang bersyukur atas segala pencapaian yang telah Allah berikan ini. Seorang anak desa yang dulunya acap bertelanjang kaki, kini menjadi mahasiswa perguruan tinggi ternama di luar negeri, King Saud University.
        Bangku panjang sejauh ini terdiam menopang tubuhku dengan Riski. Siang semakin merendah, aku tetap bersikeras memegang foto keluargaku. Riski yang sedari tadi membuang muka akibat ujaranku, kini mulai beranjak berdiri. Ia mengambil jas hitam dan peci dari lemarinya, tanpa sedikit pun melontarkan sepatah kata kepadaku. Aku yang merasa bersalah dengannya mencoba membuka bicara kembali. “Ris kau mau kemana ?”

Tidak ada jawaban, ia masih sibuk mengais-ngais isi lemarinya

       “Kau jangan marah lah ris!”

Masih sama, hening tanpa ada kata darinya.

   “Kalo boleh jujur, aku merindukan nuansa Ramadhan di rumah karena satu hal” 
Kali ini ia menghentikan gerakannya. Sedetik kemudian ia menatap ke arahku. Sedang aku yang menyadarinya, bersegera menundukkan kepala. Aku takut jika ia kembali menghiraukan dan mengabaikanku. Sekalipun anak Minang yang terkenal akan rasa solidaritasnya yang tinggi, namun jangan salah, jika sekali saja anak Minang dilukai hatinya, maka untuk menyembuhkannya tidak semudah yang memakan buah kurma.

   “Katakan saja Yus, apa itu?” Riski berjalan menghampiriku
       “Aku merindukan kolak Rumah” ucapku sambil terus tertunduk. Aku tidak berani memandang wajah Riski yang memerah padam setelah mendengar jawaban anehku.
    “Hahahahahaha, kau ini ada ada saja. Baiklah cepat ganti bajumu. Akan aku carikan kau kolaknya orang Saudi Arabia” 
    “Kolak Saudi Arabia ? Emang ada ?” tanyaku terheran-heran
       “Sudahlah jangan banyak tanyaa kau, ikut saja”

        Riski membawaku berjalan cukp panjang, untungnya sore itu awan memendung. Jadi tidak cukup banyak debu yang bertebaran sepanjang jalan. Mataku terus memandangi bangunan yang cukup aneh untuk menemukan sebuah kolak di dalamnya. 

     “Ini apa Ris, apakah ini semacam restoran ?”
 “Sudahlah kau duduk saja, aku yang memesankannya”

To be continued. . .



Pondok Pesantren Darun Nun Malang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *