Hipokrisi Supremasi: Membongkar Tirani yang Diselubungi Prestise

Hipokrisi Supremasi: Membongkar Tirani yang Diselubungi Prestise
Oleh : Muhammad Khoirul Umam

Di balik sorotan media dan narasi keberhasilan pemerintah, tersimpan sisi gelap kekuasaan yang jarang terungkap. Kekuasaan kerap dikemas dengan citra kehormatan dan prestise, sehingga tampak sah dan layak dihormati. Namun, di balik lapisan citra tersebut, sering tersembunyi praktik yang justru bertentangan dengan nilai-nilai luhur yang dikumandangkan. Fenomena ini dapat disebut sebagai hipokrisi supremasi situasi ketika para penguasa menampilkan diri sebagai pelindung rakyat dan penegak keadilan, padahal pada kenyataannya mereka justru melanggengkan ketidakadilan. Prestise yang dijaga dengan hati-hati berubah menjadi selubung yang membuat tirani terlihat seperti kepemimpinan yang tegas dan visioner.

Hipokrisi tidak hanya berkaitan dengan persoalan moral, tetapi juga menyentuh aspek struktural. Kondisi ini tampak ketika janji tentang transparansi, integritas, dan kesejahteraan tidak diwujudkan dalam tindakan nyata. Supremasi yang seharusnya menjamin keteraturan dan menjunjung hukum, justru sering diselimuti prestise yang berubah menjadi alat dominasi terhadap kelompok lemah, khususnya masyarakat menengah ke bawah. Dalam keadaan seperti ini, tirani hadir dengan cara yang halus: bukan melalui penindasan fisik semata, melainkan lewat pembatasan kebebasan berpendapat, manipulasi informasi, serta penciptaan kesan seolah-olah keadaan baik-baik saja. Prestise kemudian berfungsi sebagai tameng, membuat masyarakat segan mengkritisi kebijakan yang tampak megah dan bergengsi, padahal di baliknya tersimpan praktik yang merugikan kepentingan publik.

Realitas sosial-politik Indonesia memberikan gambaran yang jelas mengenai masalah ini. Transparency International mencatat bahwa Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2023 hanya berada di angka 34 dari 100, sebuah indikasi bahwa penyalahgunaan wewenang masih menjadi persoalan serius. Ironisnya, hal itu terjadi di tengah citra Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat religiositas tertinggi. Kesenjangan antara moralitas yang diagungkan dan praktik korupsi yang merajalela menunjukkan adanya hipokrisi yang bersembunyi di balik simbol-simbol kehormatan. Di sisi lain, keberhasilan pembangunan infrastruktur kerap dijadikan kebanggaan nasional. Memang ada manfaat yang dirasakan masyarakat, namun kritik juga bermunculan karena penegakan hukum, perlindungan hak sipil, dan pemberantasan korupsi justru kerap dikesampingkan. Kondisi ini memperlihatkan bagaimana prestise lebih sering dipakai untuk menutupi ketidakadilan struktural yang masih mengakar.

Hipokrisi supremasi yang dibungkus dengan prestise membawa dampak serius yang tidak bisa diabaikan. Ketika janji tidak sejalan dengan tindakan, krisis kepercayaan publik muncul sebagai akibat yang wajar. Masyarakat pun menjadi semakin skeptis terhadap retorika politik dan mulai kehilangan keyakinan pada institusi negara. Jika dibiarkan, kondisi ini dapat menumbuhkan apatisme politik, bahkan memicu konflik sosial, karena rakyat merasa suara mereka tidak diakomodasi. Pada titik ini, demokrasi berisiko menyempit, sebab kritik sering dipandang bukan sebagai masukan yang membangun, melainkan ancaman terhadap stabilitas dan kewibawaan.

Untuk menyingkap tirani yang bersembunyi di balik prestise, diperlukan upaya bersama dari seluruh elemen masyarakat. Transparansi harus diwujudkan dalam setiap kebijakan, bukan sekadar dijadikan slogan. Penegakan hukum pun harus dijalankan secara adil tanpa pandang bulu, sehingga supremasi hukum kembali berfungsi sebagai pelindung keadilan, bukan alat kekuasaan. Selain itu, pendidikan moral dan kemampuan berpikir kritis sangat penting agar masyarakat tidak mudah terjebak oleh pencitraan semu. Pada akhirnya, prestise seharusnya lahir dari integritas dan kerja nyata, bukan menjadi topeng yang menutupi penyalahgunaan wewenang.

Dengan demikian, hipokrisi dalam supremasi perlu dibongkar agar masyarakat tidak terus terperangkap dalam ilusi kekuasaan. Supremasi yang sejati adalah supremasi yang berlandaskan kejujuran, akuntabilitas, serta keberpihakan pada rakyat. Ketika masyarakat kritis dan berani mempertanyakan kebijakan, tirani yang terselubung di balik prestise akan kehilangan daya cengkeramnya. Pada saat itulah, prestise kembali memperoleh makna yang sejati: sebuah penghargaan atas kepemimpinan yang benar-benar adil dan bijaksana.

 

Pondok Pesantren Darun Nun

Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Facebook
Twitter
WhatsApp