Perbedaan Masa Iddah Cerai Mati dan Cerai Hidup

Oleh: Hanifia laila harisi

Islam adalah agama yang sempurna, yang mengatur kehidupan umatnya dari hal-hal kecil hingga persoalan besar. Salah satu contoh hal kecil yang diatur adalah tata cara berwudhu yang mengajarkan kebersihan. Sementara itu, salah satu hal besar yang diatur adalah pernikahan.

Dalam Islam, pernikahan merupakan perbuatan ibadah yang termasuk sunnatullah. Allah SWT telah mengatur bagaimana manusia hidup berpasang-pasangan melalui ikatan suci pernikahan. Hubungan antara laki-laki dan perempuan bertujuan untuk saling melengkapi, memperoleh keturunan, serta menjaga kelestarian hidup. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. An-Nisā’ ayat 1:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا
وَّنِسَاۤءًۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا ۝١

“Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu (Adam), dan darinya Allah menciptakan pasangannya (Hawa). Dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan peliharalah hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.”

Tujuan pernikahan adalah untuk melanjutkan keturunan dan membentuk rumah tangga yang bahagia, kekal, rukun, dan damai. Namun, tidak menutup kemungkinan rumah tangga tidak berjalan sesuai tujuan awal, sehingga pernikahan dapat berakhir dengan perceraian. Islam memang membuka pintu perceraian apabila pernikahan tidak dapat dipertahankan. Perceraian merupakan perbuatan yang halal tetapi dibenci Allah.

Rasulullah SAW bersabda:
“Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah Ta’ala adalah talak.” (HR. Abu Dawud)

Salah satu aturan penting dalam perceraian adalah ketentuan mengenai iddah. Iddah adalah masa tunggu yang wajib dijalani oleh perempuan setelah terjadi perceraian, baik karena ditinggal mati suaminya maupun karena talak. Iddah bertujuan memastikan rahim kosong sehingga tidak terjadi percampuran nasab dan memberikan waktu bagi perempuan untuk merenung sebelum menikah kembali.

Mazhab Syafi’i memandang iddah sebagai masa penantian yang digunakan wanita untuk mengetahui kosongnya rahim, beribadah kepada Allah SWT, dan berkabung atas kematian suami. Sementara itu, Mazhab Hanafi memandang iddah sebagai penantian yang wajib dijalani setiap perempuan ketika pernikahannya putus atau sejenisnya.

Iddah Cerai Mati

Apabila suami meninggal dunia, istri wajib menjalani iddah selama empat bulan sepuluh hari (QS. Al-Baqarah: 234). Dalam masa ini, istri juga wajib menjalankan ihdad, yaitu meninggalkan segala bentuk berhias seperti memakai wewangian, make-up, perhiasan, dan pakaian yang mencolok. Ihdad merupakan bentuk penghormatan terhadap suami, ekspresi duka cita, dan pencegahan agar istri tidak tergesa-gesa menerima lamaran selama masa berkabung. Ketentuan ini berlaku bagi semua istri yang pernikahannya sah, baik sudah dicampuri maupun belum.

Iddah Cerai Hidup

Berbeda dengan cerai mati, masa iddah bagi perempuan yang dicerai adalah tiga kali suci menurut Mazhab Syafi’i dan tiga kali haid menurut Mazhab Hanafi. Jika perempuan tidak mengalami haid (misalnya karena masih kecil, menopause, atau sebab lain), maka masa iddahnya adalah tiga bulan. Dalam kasus ini, Mazhab Syafi’i tidak mewajibkan ihdad dan memperbolehkan perempuan berhias, bahkan dianjurkan agar suami terdorong untuk rujuk selama masa iddah jika talak yang dijatuhkan adalah talak raj’i. Sementara itu, Mazhab Hanafi mewajibkan ihdad juga pada kasus cerai hidup sebagai bentuk kesedihan atas berakhirnya pernikahan.

Perbedaan Tujuan

Perbedaan mendasar antara iddah cerai mati dan iddah cerai hidup terletak pada tujuan pelaksanaannya. Iddah cerai mati lebih menekankan aspek berkabung dan penghormatan terhadap suami, sehingga larangan berhias diberlakukan secara ketat. Sedangkan iddah cerai hidup lebih menekankan pemeriksaan status rahim dan memberi kesempatan bagi suami-istri untuk melakukan rekonsiliasi. Penekanan 2 hal ini ada pada istilah iddah dan ihdad.

 

Sumber

Yusroh & Haaniyatur Roosyidah. Iddah dan Ihdad dalam Mazhab Syafi’i dan Hanafi. Yogyakarta: Penerbit Simpang, Cetakan II, 2023.

Azzam, Abdul Aziz Muhammad & Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. Fiqih Munakahat: Khitbah, Nikah & Talak. Jakarta: Amzah, 2010.

 

Pondok Pesantren Darun Nun

Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Facebook
Twitter
WhatsApp