Oleh: Arilaramsyah
Aku, perempuan yang selalu menjadi harapan; orang tua, abang, adik, ah entahlah adikku, yang aku tau adikku adalah sumber kekesalan, selalu ada hal-hal menyebalkan setiap kali kita bertemu. Adikku yang tak mau ngalah tapi kadang sabar, sementara aku yang selalu berusaha menang meski akhirnya mengalah, karena kasihan (kadang marah).
“Kenapa untuk menghadapi adekmu, kamu selalu emosi, sedangkan menghadapi orang lain kamu begitu peduli?”
Pertanyaan yang selalu dilontarkan ibu setiap kali aku bermasalah dengan adik, sementara ayah dan abangku hanya menyimak, bukan tidak peduli. Abang seperti biasa, melihat dengan senyuman tipis, sedangkan Ayah berusaha menjadi hakim yang paling bijak, tetapi lebih berpihak kepadaku, dan Ibu? selalu menengahi meski pada akhirnya menuntut untuk selalu mengerti adik.
Iya, pertanyaan. Aku dibuat bungkam dengan pertanyaan itu. Diam, lalu pergi ke tempat yang membuatku nyaman untuk sendirian, kembali merenungi.
“Ada benarnya juga apa yang selalu ditanyakan oleh Ibu, padahal jelas-jelas itu adalah adeku, kenapa aku tidak memiliki setipis kesabaran saja untuk menghadapinya, kenapa emosi itu selalu mencuat tanpa sungkan, tanpa waspada dan liar begitu saja” gumamku sendirian.
Ah sudahlah, bisa jadi karena aku tau kalau adikku adalah salah satu orang yang menerima tanpa syarat, yang menyayangi tanpa tapi.
Meskipun selalu berkelahi, nyatanya keluarga adalah ruang yang selalu menerima, apapun bentuknya. Kita tidak akan menemukan bentuk penerimaan itu di tempat manapun dan di siapapun. Sedangkan orang lain? wajar saja kita masih bersikap waspada, sungkan, dan tidak liar, karena kita memiliki (sedikit-banyak) kekhawatiran dan ketakutan untuk tidak dapat diterima.
Iya, keluarga.
Abang, sewaktu senyum tipis khasnya masih bisa dilihat dan terlihat, ia meski tidak setiap hari, sering menanyakan keadaan. Kala itu, aku selalu menjawabnya “Alhamdulillah baik” dan benar-benar baik. Tidak sedang berpura-pura atau berusaha terlihat baik-baik saja.
Tapi, ketika orangnya lebih disayang oleh Tuhan, 12 Februari 2024 sejak itu rasa benci, kecewa, dan sulit menerima memberontak dengan hebatnya. Kepergiannya benar-benar menyulam luka dan trauma. Aku belum pernah merasakan hal aneh ini sebelumnya, tiba-tiba semuanya terasa berat, tiba-tiba ragu untuk melangkah, tiba-tiba hilang arah, tiba-tiba sedikit energi untuk menemui siapapun, bahkan sekadar meng-iya-kan sapaan orang-orang.
Aku bersyukur, menemukan seseorang yang berharga dan membuatku bahagia (kembali menemukan diri sendiri), kepribadian yang mencerminkan namanya, Hilyatus Sa’adah. Dia dengan tatapan tulusnya mengutarakan
“Jangan berlarut dalam keterpurukan, jangan biarkan ia melekat dan mengakar, nanti susah sembuhnya Ka. Aku percaya Ka Tila bisa bangkit dan kembali lagi”.
Kata-kata ini terlihat sederhana, tapi kenapa ketika Hilya yang berbicara langsung ngena, terngiang-ngiang dan menyembuhkan. Rupanya, sekalinya bercerita aku menemukan telinga yang tepat. Aku tidak mudah percaya untuk bercerita hal-hal yang yang aku anggap berat, aku harus menilai lebih dulu; memastikan kesiapannya. Terima kasih, Hilya.
***
9 Februari 2024 adalah hari yang baik untuk berpisah, aku mencium tangannya, berfoto, lalu pamitan. Tidak biasa; berfoto adalah hal yang langka, dia tidak suka foto-foto, tapi kenapa pas aku ajak, langsung mengangguk. Sepanjang perjalanan ke Malang aku dikhawatirkan, selalu ditanya “Tila, gimana, aman?”, mungkin itu adalah hal paling ringan yang bisa ia lakukan, memastikan aku selalu baik-baik saja, atau mungkin dia merasa bersalah karena tidak bisa mengantarku seperti biasanya, dan faktanya memang demikian.
Tegakkan kepalamu abangku, sebagai abang kamu sudah menjalankan peranmu dengan baik, bahkan sangat baik. Setiap kali aku butuh kamu dengan sigap mengusahakan selalu ada, tidak banyak bicara tapi tindakannya selalu mencerminkan cinta, aku beruntung dan bersyukur ditakdirkan menjadi adikmu.
Malam 9 Februari 2024 adalah waktu yang baik untuk mengenang; candaan, tatapan, dan harapan.
“Jagain Ibu, Imam”
Aku bingung, kenapa tiba-tiba berbicara seperti itu. Aku yang belum selesai dengan tawaku waktu itu mengangguk bingung.
Namun, setelah apa yang terjadi dan hari-hari yang dijalani, harapan itu pelan-pelan mulai dipahami.
Aku tidak tau, apakah aku yang merasa kehilangan sehingga menginginkan kembali pertanyaan tentang bagaimana aku menjalani hari-hariku di rantauan ini, tempat kamu seharusnya menemuiku dan mengelilingi kota dingin ini. Kenapa di saat pertanyaan itu tidak bisa aku dapatkan, justru banyak hal yang ingin aku ceritakan.
Aku memang memiliki banyak pundak, tetapi tidak akan pernah sama rasa nyamannya dengan pundakmu. Aku juga meminta maaf, karena aku tidak bisa sepenuhnya sesabar kamu ketika menghadapi “maunya” Imam.
Tapi, lihatlah Imam sekarang, perlahan Imam mulai mengerti, perlahan Imam tidak lagi banyak menuntut, perlahan Imam sudah mulai bijak, bahkan lebih bijak dari aku. Kamu pasti bangga, abangku.
Sedangkan Ibu dan Ayah? lihatlah cara mereka mengikhlaskan. Betapa tegarnya ayah mengadzankanmu juga betapa kuatnya ibu mengiringimu dengan ayat-ayat-Nya, sampai jasadmu benar-benar masuk ke liang lahat. Selanjutnya, kamu tidak pernah dilupakan. Kamu tau sendiri kan? Bagimana Ibu menelpon kami setiap hari menanyakan kabar, dan mengingatkan untuk selalu mendoakanmu; Ramsyah.
Jejak ketulusan yang kamu tinggalkan, aku akan berusaha mempelajari dan mengikutinya.
Kini, aku masih berjalan di atas harapan-harapan itu, juga harapanmu; menjadi adik perempuan kebanggaan yang kamu cita-citakan. Dengan sekuat usaha, doa, dan atas izin-Nya aku bisa mewujudkannya, amin.