Review Buku “Seni Merayu Tuhan”
Oleh Ahmad Rofiqi Hasan
Buku yang kali ini saya pinjam dari salah satu calon dosen Jember, *Raihan Ammar Syafril* salah satu santri di pondok pesantren Darun Nun. Dengan buku miliknya “Seni Merayu Tuhan” buku yang sebenarnya sudah lama ada di rak buku namun belum sempat dibaca sampai saat pulang Ramadhan saya berniat untuk membaca dan mengkhatamkannya. Sebenarnya apa yang membuat menarik dari buku ini? Ya karena isinya-check it now!!!.
Buku Seni Merayu Tuhan merupakan karya yang sudah tak asing lagi di telinga, khususnya bagi kalangan muda yang mulai menapaki jalan spiritual. Ditulis oleh Habib Husein Ja’far Al-Hadar, pendakwah muda asal Situbondo, buku ini pertama kali diterbitkan oleh Mizan Publishing dan kini telah mencapai cetakan ketiga pada April 2022. Karya ini terdiri dari 225 halaman yang padat akan makna, dibagi menjadi empat tema utama yang secara keseluruhan mengajak pembaca untuk memahami bagaimana cara mendekatkan diri kepada Tuhan bukan dengan rasa takut atau kaku, melainkan dengan kelembutan, cinta, dan keikhlasan.
Judulnya saja sudah mengundang rasa penasaran: apakah merayu Tuhan itu benar bisa? Apakah merayu Tuhan ada seninya? Melalui buku ini, kita diajak menyelami empat pendekatan utama yang menjadi landasan dalam merayu Tuhan: beragama dengan cinta, keberagaman, akhlak, dan ketulusan. Semua dijelaskan dengan ringan namun mendalam, membuat siapa pun yang membacanya akan merasa disentuh dan diajak untuk merenung. Dalam bab beragama dengan cinta, misalnya, kita diingatkan bahwa Tuhan itu tidak untuk didikte. Tanpa sadar, kita sering “memerintah” Tuhan dalam doa-doa kita, padahal Dia lebih menyukai rayuan penuh keindahan. Bahkan, sebelum kita merayu-Nya pun, Tuhan telah lebih dulu memberi tanpa henti. Senyum kepada sesama, menjaga silaturahmi, berbuat baik meski kecil semua itu bisa menjadi bentuk rayuan yang tulus kepada Sang Pemilik Kehidupan.
Di bagian lain, Habib Ja’far menekankan pentingnya beragama dengan menghargai keberagaman. Islam bukan hanya tentang ritual, tapi juga tentang menjaga kemanusiaan, menyambung persaudaraan, dan menjunjung tinggi nilai hidup. Dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 32, dijelaskan bahwa membunuh satu jiwa sama dengan membunuh seluruh umat manusia sebuah pengingat bahwa ajaran Islam sangat menjunjung tinggi nilai nyawa dan damai. Karena itu, Islam hadir sebagai solusi, bukan alat untuk menghakimi.
Lalu, kita juga diajak untuk beragama dengan akhlak. Bukan saling mengejek, tetapi saling mengajak dalam kebaikan. Buku ini menunjukkan bahwa kekuatan Islam terletak pada kelembutan, bukan kekerasan. Sebagaimana pesan Quraish Shihab yang juga dikutip di dalam buku ini, _“Jangan berdebat dengan seseorang yang bisa kau kalahkan argumennya, tapi tidak bisa kau tundukkan egonya.”_ Ini menjadi pengingat bahwa menyampaikan kebenaran pun perlu adab dan kesabaran. Terakhir, beragama dengan tulus adalah bentuk seni tertinggi dalam merayu Tuhan. Bukan karena ingin dipuji atau dihormati, tetapi karena sadar diri sebagai hamba. Merayu Tuhan berarti melupakan kebaikan yang telah dilakukan, mengingat dosa sendiri, dan terus menjaga hati agar tak tergelincir pada kesombongan. Dalam setiap ibadah, baik yang bersifat ritual maupun sosial, ikhlas menjadi kunci utama agar kita bisa benar-benar dekat dengan-Nya.
Salah satu hal paling menarik dari buku ini adalah gaya penulisannya yang mengalir, ringan, dan tidak menggurui. Bahasa yang digunakan gaul, kekinian, dan sangat mudah dicerna oleh semua kalangan, terutama anak muda. Penggunaan perumpamaan yang sederhana tapi dalam, serta kutipan-kutipan dari tokoh seperti Quraish Shihab, membuat isi buku terasa lebih hidup dan membumi. Buku ini tidak hanya menyampaikan dalil, tetapi juga memberikan konteks yang relevan dengan kehidupan masa kini. Setiap dalil yang disampaikan pun diterjemahkan secara langsung tanpa teks Arab, menjadikannya mudah diakses siapa saja.
Selain isinya yang berbobot, buku ini juga dikemas secara menarik. Banyak bagian penting yang dicetak tebal, sehingga memudahkan pembaca menangkap pesan utama. Ilustrasi gambar Habib Husein dengan kutipan bijaknya juga menjadi daya tarik tersendiri, memberikan jeda yang menyegarkan di antara halaman-halaman yang serius namun tetap menyenangkan untuk dibaca. Penyampaian yang tidak bertele-tele dan sering dibumbui humor ringan khas Habib Husein menjadikan buku ini terasa seperti teman ngobrol yang menyemangati.
Buku ini sangat tepat dibaca oleh siapa saja, terutama anak muda yang sedang mencari jalan untuk lebih mengenal Tuhannya dengan cara yang hangat dan menenangkan. Seni Merayu Tuhan tidak hanya membahas tentang ibadah yang bersifat formal, tapi juga mengajarkan bahwa ibadah sosial, akhlak, dan kesadaran diri adalah bagian dari cara kita mendekat kepada Tuhan. Setiap halamannya memberi ruang untuk merenung dan memantulkan diri—bahwa kita sebagai manusia hanyalah hamba, yang tak sepatutnya merasa paling tahu atau paling benar. Sebaliknya, kita diajak untuk lebih rendah hati, menyadari keterbatasan, dan bersyukur atas nikmat yang telah diberi.
Sebagai penutup, ada satu kutipan dari buku ini yang sangat menyentuh:
*“Hikmah itu tentang sudut pandang. Yakni melihat kebaikan dalam samudra keburukan, melihat kebahagiaan dalam samudra kesedihan, melihat keindahan dalam samudra kejelekan dan begitu seterusnya. Seseorang bisa melihat segala sesuatu secara positif.”*
Dan dari seluruh isi buku yang menyenangkan ini, saya memberikan rate 10/10. Karena Seni Merayu Tuhan bukan sekadar bacaan, tapi perjalanan spiritual yang ringan, menyentuh, dan mengajak kita untuk kembali pulang dengan cara yang indah.