Oleh Ilman Mahbubillah
Pesanmu kala itu; menjelma semburat purnama yang lancang menysup belantara sunyi, tempatku berziarah untuk rasa yang terpaksa dikremasi. Pada jutaan rasa percaya yang tumbuh tanpa curiga, kini harus meng-iba di pelataran sepi; mengharap cinta untuk digenapi.
Euforia tentang cinta menyatu dengan abu dari puisi Sapardi yang kembali kulantunkan di telingamu. Namun, kau pantik api perpisahan yang kemudian berhasil membara di puncak harapanku. Membakar hidup-hidup setiap asa yang telah lama meredup. Lantas, kau desak aku untuk berserah pada satu pilihan “Merelakan segala rasa pada puncak perapian yang kau nyalakan”.
Jika mengulang catatan lara, dengan kembali merawat abu kremasi dalam setiap puisi yang kubaca, maka jangan pernah bertanya, siapa perancang tangis di setiap bait nya? Siapa sumber kepahitan dalam tiap pahatan rimanya? Siapa aktor di balik semua sandiwara dan menjadikannya kisah pilu yang sempurna? Lalu bagaimana nasib dengan setiap ujian, kejutan, senyum yang kau goreskan, peluk yang kau hadirkan?
Kurasa ia akan tamat oleh gejolak tangis yang tak bisa kupadamkan.
Usai pertemuan itu, semesta seakan membawakanku lara abadi; bercumbu dengan sepi, menikam urat nadi. Menenggelamkan berbagai mantra yang seringkali kubaca pada pukul tiga pagi; sebagai upaya menelanjangi rasa yang sepertinya tak sempat kau baca. Kau memilih meninggalkanku dengan rasa sesal yang bertamu; menyuguhkan setiap ingatan akan senyummu, menjuntai kenangan kala bersamamu.
Kini, akan kurawat segala yang tersisa di balik senyum hampa monalisa. Sampai kutemui lagi rasa cinta pada setiap ketidakmungkinan kita. Pada takdir yang ternyata tak memihak; tak mengamini segala rasa. Pada hukum semesta yang akhirnya belum mengizinkan kita, serta restu yang entah sampai kapan mendapat jawaban “iya”. Seandainya nanti Tuhan memang tak sudi mengabulkan; doa dari sepasang hati yang benci dipisahkan..
Maka akan kuterima segala kerelaan dari jalan yang telah ia pilihkan.
One Response
MassyaAllah keren min