DUA NYAWA, SATU JANJI

Oleh Zid-li Auliyana Luthfillah

Sari dan Maya duduk di bangku kayu di bawah pohon mangga yang rindang, menikmati angin sore yang sejuk. Suasana desa yang tenang seolah menyelimuti mereka dalam kehangatan persahabatan. Namun, di balik senyuman dan tawa, ada sebuah tawaran yang menggoda, yang membuat Sari merasa tidak nyaman.

“Maya, ayo ke Dusun Cempaka, katanya di sana bisa dapat uang cepat,” ajak Maya dengan semangat, matanya berbinar-binar penuh harapan.

Sari menatap Maya dengan rasa penasaran. “Kerja apa emang di sana?” tanyanya, ingin tahu lebih dalam tentang tempat yang terdengar misterius itu.

“Nggak kerja, di sana bisa tukar janin menjadi uang. Setiap satu janin dihargai satu miliar. Ini janinku tujuh bulan, berarti dapat tujuh miliar,” jawab Maya sambil mengelus perut buncitnya, seolah membayangkan tumpukan uang yang akan segera ia dapatkan.

Sari terdiam sejenak, hatinya bergetar mendengar tawaran itu. “Hmmm, enggak deh, aku mau rawat aja janinku sampai lahir,” tolaknya tegas, sambil memandang perut kecilnya yang masih datar. Rasa sayang terhadap janinnya mengalahkan godaan uang yang menggiurkan.

“Oh, ya sudah kalau gitu. Kamu mau antar aku nggak ke Dusun Cempaka?” tanya Maya, nada suaranya berubah menjadi memohon.

Sari merasakan keraguan dalam hatinya. Ia tahu betapa berbahayanya keputusan yang diambil Maya, tetapi ia juga tidak bisa menolak permintaan sahabatnya. “Maya, kamu yakin mau melakukan ini?” tanyanya, mencoba menegaskan kembali pilihan yang diambil sahabatnya.

Maya mengangguk penuh keyakinan, seolah tidak mendengar keraguan Sari. “Ini kesempatan, Sari. Kita bisa hidup lebih baik,” ujarnya, semangatnya tak kunjung padam.

Sari menghela napas, hatinya berkonflik antara mendukung sahabat dan melindungi janinnya. “Baiklah, aku akan antar kamu, tapi ingat, Maya, ini bukan keputusan yang mudah,” katanya akhirnya, meski dalam hati ia merasa cemas akan apa yang akan terjadi di Dusun Cempaka.

Maya menatap Sari dengan penuh semangat, seolah rencana mereka sudah terukir dalam takdir. “Tapi sebelumnya kita ke Buk Sri dulu sebelum menemui dukun tersebut,” ajaknya, suaranya bergetar penuh antusiasme.

“Emang siapa Buk Sri?” tanya Sari, rasa penasaran menggelitik di dalam hatinya. Ia merasa ada sesuatu yang lebih dalam di balik nama itu.

“Buk Sri ini sebagai jembatan komunikasi kita dengan dukun. Jadi, aku nggak bisa langsung bicara ke dukunnya,” jelas Maya, matanya berbinar-binar seolah membayangkan semua kemungkinan yang akan terjadi.

Sari mengangguk, mencoba mencerna informasi baru itu. “Berapa hari kita kesana?” tanyanya, membayangkan perjalanan yang akan mereka tempuh.

“Sekitar seminggu,” jawab Maya, nada suaranya penuh keyakinan. Ia sudah membayangkan semua rencana yang akan mereka jalani, seolah waktu tidak akan menjadi penghalang bagi impian mereka.

“Oke, aku akan antar kamu, tapi sebelum itu aku mau izin suami sekaligus keluarga dulu, kalau boleh aku antar,” jawab Sari, suara tegasnya mencerminkan tanggung jawab yang ia rasakan. Ia tahu betapa pentingnya mendapatkan restu dari orang-orang terdekatnya sebelum melangkah ke dalam dunia yang tidak pasti.

Maya tersenyum lebar, seolah mendengar kabar baik. “Tentu, Sari! Itu yang terbaik. Kita harus pastikan semuanya aman,” ujarnya, merasa lega dengan keputusan Sari.

Sari merasakan campuran antara kecemasan dan harapan. Ia tahu bahwa perjalanan ini bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan emosional yang akan menguji batasan moral dan kasih sayangnya sebagai seorang ibu. Dengan tekad yang bulat, ia bersiap untuk berbicara dengan suaminya, berharap agar semua berjalan lancar dan tidak ada yang terputus dalam ikatan keluarga mereka.

Sari mengucapkan selamat tinggal kepada suami dan keluarganya, dengan izin untuk pergi selama seminggu bersama temannya, Maya. Ia tidak menjelaskan ke mana mereka akan pergi, hanya menyampaikan bahwa mereka akan berlibur. Dengan koper di tangan, Sari melangkah menuju rumah Maya, di mana mereka akan memulai perjalanan menuju Buk Sri.

Setibanya di rumah sederhana, Buk Sri menyambut mereka dengan senyuman hangat. “Bagaimana? Sudah siap?” tanyanya, memastikan bahwa mereka telah mempersiapkan segalanya.

“Sangat siap, Buk Sri,” jawab Maya dengan semangat, matanya berbinar penuh antusiasme.

Buk Sri kemudian menatap Sari, memperhatikan perutnya yang mulai membesar. “Kamu hamil?” tanyanya, nada suaranya penuh perhatian.

“Iya, ini masih tiga bulan, Buk Sri, hehe,” Sari menjawab sambil tersenyum, merasakan kebahagiaan yang mengalir dalam dirinya.

“Mau ikut juga?” tawar Buk Sri, seolah mengundang Sari untuk merasakan pengalaman yang lebih dalam.

“Enggak, Buk Sri, saya cuma menemani Maya aja,” tolak Sari dengan halus, meskipun hatinya bergetar mendengar tawaran itu.

“Ayo, nggak apa-apa, pasti dapat kok,” bujuk Maya, berusaha meyakinkan Sari untuk ikut serta dalam petualangan itu.

Sari hanya menggelengkan kepala, sambil mengelus lembut perutnya, merasakan kehidupan yang tumbuh di dalamnya. 

“Oh, ya sudah, mari masuk ke sana,” ajak Buk Sri, sambil menunjuk gubuk tua yang menjadi tempat mereka beristirahat.

Dengan langkah mantap, mereka memasuki gubug, meninggalkan keraguan di luar dan menyambut petualangan yang menanti di dalam. 

Seorang bapak tua berjenggot putih panjang menghampiri mereka bertiga. Ia mengenakan blangkon dan baju khas Jawa, menambah kesan kharismatik yang melekat padanya. Dengan suara yang dalam dan penuh wibawa, ia bertanya, “Sudah siap?”

Maya, salah satu dari mereka, menjawab dengan penuh keyakinan, “Saya siap, Mbah.” Ada semangat yang membara di dalam dirinya, meskipun ketegangan menyelimuti suasana.

Mbah dukun mengamati perut Maya dengan tatapan serius. “Waduh, ini susah. Nggak cuma satu makhluk yang bantu, soalnya sudah besar,” ujarnya, nada suaranya mengandung keprihatinan.

“Maksudnya gimana, Mbah?” tanya Maya, rasa penasaran menggelora di dalam hatinya.

“Janinmu sudah jadi bayi, perlu banyak makhluk untuk membantu. Nah, kalo seperti ini masih gampang,” jawab Mbah dukun sambil menunjuk perut Sari, yang berdiri di samping Maya. “Kamu mau ikut juga?”

Sari terdiam sejenak, ragu-ragu. “Hmmmm… lihat dulu aja Mbah, kalo berhasil nanti saya ikut,” jawabnya, meski di dalam hatinya ada rasa tergiur yang sulit untuk diabaikan.

Mbah dukun mengangguk, seolah memahami keraguan Sari. “Ayo, Mbak Maya masuk,” katanya, mengisyaratkan agar Maya mengikuti arahan.

Maya melangkah menuju sebuah ruangan kecil yang sederhana, di mana aroma rempah dan dupa memenuhi udara. Ia berbaring di atas amben bambu yang ringkih, merasakan getaran ketegangan dan harapan yang bercampur aduk. Dalam hati, ia berdoa agar semua berjalan lancar, sementara Mbah dukun bersiap untuk memulai ritual yang akan mengubah hidupnya selamanya. Maya mengganti baju dengan kemben jarik jawa.

Maya tersentak kaget, batuk, dan memuntahkan gumpalan darah seperti potongan daging, “HUUEEKKKK!!!!”, Maya menundukkan kepala dan tersimpuh lemas.

Tak lama berselang, Maya melayang dalam keadaan terbaring, anak kecil tak menapak melayang mengitari tubuhnya, memegang tangan Maya dan mengajak bermain, “Ibu, ayo main, ini aku”.

Sari, yang menyaksikan semua itu dengan mata terbelalak dan merinding sekujur tubuhnya, berusaha mencari penjelasan. Dengan lirih, ia bertanya kepada Buk Sri, “Itu siapa, Buk Sri?”

“Ssstt, diam aja, jangan banyak tanya,” jawab Buk Sri dengan nada ketus, tidak memberikan penjelasan yang diharapkan Sari.

Sari mengangguk pelan, terperangkap dalam keheningan yang mencekam. Ia menyaksikan kejadian demi kejadian yang melampaui batas nalar, tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada Maya.

Tiba-tiba, suara keras menggema di ruangan. “GUBRAKKK!!!” Maya terjatuh dari posisi melayangnya, tepat di atas amben bambu yang sebelumnya ia huni. “Aduh…” keluhnya, meringkih kesakitan.

Belum sempat Sari mengalihkan pandangannya, makhluk tinggi besar berwarna hitam legam dan berbulu menghampiri Maya. Makhluk itu memandangi Maya dengan tatapan tajam, matanya merah menyala, seolah menilai mangsanya. Dengan gerakan lambat, ia menjulurkan lidah panjangnya, menjilat seluruh badan Maya, membuatnya menggigil kedinginan.

“Aduh huuwft… Huuwfttt…” Suara Maya bergetar menggigil.

“Itu apa lagi, Buk Sri?” tanya Sari, tak dapat menahan rasa penasarannya yang semakin membara.

“Jangan banyak tanya,” jawab Buk Sri sekali lagi, suaranya tegas dan tak memberi ruang untuk diskusi lebih lanjut.

Di dalam benak Sari, banyak pertanyaan bertumpuk, kejanggalan aneh yang baru saja ia saksikan. Namun, dengan jawaban Buk Sri yang tak berubah, Sari memilih untuk terdiam, menyaksikan dengan penuh rasa ingin tahu dan ketakutan, seolah terjebak dalam dunia yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Mbah dukun melangkah mendekati Buk Sri dan Sari, wajahnya menunjukkan ketenangan setelah ritual yang baru saja dilaksanakan. “Ritualnya sudah selesai, sekarang tinggal menunggu Maya sadar. Dia masih lemas di amben bambu,” ujarnya, suaranya tenang namun penuh makna.

“Oke, baiklah,” jawab Buk Sri tersenyum.

Mbah dukun mengeluarkan tumpukan uang dari saku baju khasnya dan menyerahkannya kepada Buk Sri. “Ini,” katanya, seolah mengingatkan akan perjanjian awal yang telah disepakati.

“Oke, terimakasih, Mbah,” ucap Buk Sri, menerima uang tersebut dengan rasa syukur. Namun, di dalam hati Sari, muncul pertanyaan yang mengganggu. ‘Kok, nggak diberikan ke Maya langsung ya? Kok malah diberikan Buk Sri?’, merasakan kejanggalan yang tak bisa ia ungkapkan.

Setelah menunggu hampir setengah jam, akhirnya Maya mulai bergerak. Perlahan, matanya terbuka, dan ia tampak bingung sejenak sebelum sepenuhnya sadar. Mbah dukun menghampirinya, memberikan dorongan lembut agar ia keluar menuju Sari dan Buk Sri.

Maya duduk bersimpuh di samping Sari, wajahnya sumringah, seolah beban yang berat telah terangkat dari pundaknya. “Kalian bisa istirahat dulu di sini. Sekarang masih gelap, besok pagi boleh pulang,” kata Mbah dukun dengan niat baik, mempersilahkan mereka menginap di tempatnya untuk sementara waktu.

“Baik, Mbah. Terimakasih,” jawab Buk Sri, merasa lega dengan tawaran tersebut.

“Jadi bagaimana? Kamu mau ikut ritual juga?”, tanya Mbah dukun masih tetap menawarkan kepada Sari.

Setelah melihat kejadian menyeramkan tersebut, jelas Sari menolak tawaran Mbah Dukun, “Enggak dulu mbah, saya masih mau merawat anak saya”, ujar Sari sambil mengelus perut mungilnya.

“Oh, ya sudah kalau memang itu kehendakmu”, ucap Mbah dukun kepada Sari. 

Maya kemudian mengganti kemben jarik yang dikenakannya dengan baju persediaan yang dibawanya. Setelah itu, ia bergabung dengan Sari dan Buk Sri, berbaring di amben yang sama. Dalam keheningan malam, mereka bertiga terlelap, dikelilingi oleh aroma rempah dan kehangatan yang menyelimuti ruangan, sementara Mbah dukun mengawasi mereka dengan tatapan penuh harapan.

Pagi pun tiba, mereka bersiap-siap untuk pulang. Maya memandangi perutnya yang masih membelendung, “Mbah, ini kok masih ada bayinya?”, tanya Maya panik.

“Oh, tenang aja, nanti juga lambat laun juga bakal kempes, memang nggak langsung aja itu”, jawab Mbah dukun memberikan penjelasan. 

Mereka bertiga pulang dan tak lupa mengucap banyak rasa syukur dan terimakasih kepada Mbah dukun yang telah membantu. Di tengah perjalanan Buk Sri memisahkan diri dengan Sari dan Maya karena beda arah tujuan. Selama perjalanan pulang, Sari mengobrol dengan Maya, disinilah rasa penasaran Sari terjawab yang sebelumnya tidak dijawab Buk Sri.

“Maya, kamu nggak ngerasa sakit-sakit badannya?” tanya Sari, nada suaranya mencerminkan kekhawatiran sekaligus rasa ingin tahunya.

“Enggak, emang kenapa? Kamu tertarik nyoba juga?” jawab Maya, sambil mengangkat alisnya, menantang Sari untuk menjawab.

“Enggak, lah, serem!” tolak Sari tegas, wajahnya menunjukkan ketidaksetujuan yang jelas.

“Serem gimana? Orang cuma duduk doang,” balas Maya, bingung dengan reaksi Sari yang tampak berlebihan.

“Lah, kamu kemarin sewaktu ritual kenapa kok bilang ‘Aduh’ keras banget?” tanya Sari, penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi saat ritual itu.

“Kapan?” Maya balik bertanya, kebingungan meliputi wajahnya.

Sari menghela napas, berusaha mengingat kembali momen-momen aneh yang ia saksikan. “Sebelumnya aku mau tanya, emang selama ritual apa saja yang kamu rasakan?” tanyanya, ingin menggali lebih dalam.

“Aku cuma disuruh duduk, terus minum air dari kendi, terus diam aja di depan dupa dan aneka kembang,” jawab Maya, suaranya tenang, berbeda jauh dengan apa yang Sari lihat saat kejadian berlangsung.

Sari terdiam sejenak, merenungkan jawaban Maya yang tampak begitu biasa, sementara ia sendiri menyaksikan hal-hal aneh dan menakutkan. Tak ingin melanjutkan topik yang membuatnya merasa tidak nyaman, Sari beralih menanyakan hal lain yang sempat dibahas sebelumnya. “Terus yang katamu bisa dapat uang tujuh miliar sekarang mana uangnya?”

“Masih dipegang Buk Sri, jadi nggak diberikan langsung, tetapi perbulannya bakal diberikan ke aku,” jawab Maya, menjelaskan dengan nada santai.

Sari mengangguk, meski di dalam hatinya masih ada rasa penasaran dan keraguan. Uang yang dijanjikan itu seolah menjadi harapan baru bagi mereka, namun dibalik itu semua, Sari tak bisa menghilangkan rasa cemas akan apa yang mungkin terjadi di masa depan. Dalam perjalanan pulang yang tenang itu, mereka berdua terbenam dalam pikiran masing-masing, saling berbagi cerita dan harapan, sementara malam semakin larut di sekitar mereka.

Setiap bulan, Maya menerima amplop putih dari Buk Sri, namun isi di dalamnya selalu mengecewakan. Nominal yang ia terima tidak sebanding dengan perjanjian awal yang dijanjikan. Hanya berkisar antara Tiga ratus hingga Lima ratus ribu saja. Rasa kecewa dan penyesalan mulai menggerogoti hatinya, terutama ketika ia melihat perutnya yang seharusnya mengempis seiring berjalannya waktu. Alih-alih mengecil, perutnya justru semakin membelendung, bahkan setiap bulan seolah semakin membesar.

Hari-hari berlalu, dan ketidakpastian semakin menyelimuti hidup Maya. Hingga suatu ketika, saat rasa sakit mulai menjalar di perutnya, Maya menyadari bahwa waktu itu telah tiba. Kontraksi yang menyakitkan membuatnya terpaksa pergi ke rumah sakit. Dalam keadaan panik dan cemas, ia berharap bisa melahirkan dengan selamat, meski di dalam hatinya ada rasa takut yang tak terungkapkan.

Namun, nasib berkata lain. Di ruang bersalin yang dingin dan steril, Maya berjuang melawan rasa sakit yang tak tertahankan. Dalam detik-detik terakhir, saat harapan untuk melihat wajah bayinya semakin dekat, sebuah tragedi yang tak terduga terjadi. Dalam proses melahirkan, baik Maya maupun bayinya mengalami komplikasi yang fatal. Dalam sekejap, semua harapan hancur berkeping-keping. Ibu dan bayinya meninggal dunia, meninggalkan kesedihan yang mendalam.

Maya, yang selama ini merasa terjebak dalam janji-janji manis, hal tersebut ternyata kebenaran yang pahit. Ia bukanlah yang menumbalkan bayinya, melainkan dirinya dan bayinya yang dijadikan tumbal dalam permainan gelap yang tak pernah ia pahami. Semua yang terjadi adalah bagian dari rencana yang lebih besar, sebuah penipuan yang merenggut nyawa dan harapan. Dalam keheningan malam, saat semua berakhir, hanya kesedihan dan penyesalan yang tersisa, mengisi ruang kosong yang ditinggalkan oleh impian yang hancur.

 

Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Facebook
Twitter
WhatsApp