Pintu Asmaraloka
Oleh : Ilman Mahbubillah
Dalam satu malam, kutemukan selarik sabda cinta yang berlarian pada sudut-sudut gulita. Pada lembaran fatamorgana kemudian bersemayam, menyimpan segala rasa. Sebab aku tak mampu terjemahkan walau dengan berbagai nada. Naas, yang ku temukan hanyalah hampa.
Seandainya dentang arloji dapat dipukul kekiri, kuputuskan akan tetap kuteruskan perjalanan ini. Jalan yang penuh dengan duri menyakiti, harap-harap terlewati. Bertemu kekasih di akhir cerita nanti dengan raga dan hati, meskipun jiwa akan hancur dan mati.
Percik harmoni pada ledakan-ledakan kesunyian, selalu membawa teduh sebuah harapan. Harapan yang selalu merekah tanpa beban seiring dengan terbukanya telapak tangan. Harapan yang indah tumbuh dan bertaut setelah berbagai cahaya terenggut. Harapan yang meruncing setelah diasah oleh bening-bening air mata pada hamparan kening.
Lewat kelopak-kelopak gugur lalu membawaku pada tawa yang kudamba. Lewat kenangan yang melebur lalu menuntunku temukan belahan jiwa. Kiranya demikian perahuku berlayar menuju dermagamu. Kiranya juga demikian rinduku bertemu pada selarik sabda cintamu.
Tak pernah kusangka; siluet cahaya pada pintu yang tak terbuka, kekeliruan yang selalu merangkul tanya, dan jari jemari yang tak hentinya menggerus luka. Pada akhirnya itulah yang jadi alasanku untuk berbahagia; berbahagia atas segala dosa, berbahagia pada berbagai pusara cinta yang tercipta.
Gemerlap berjuta aksara serupa hujan; dalam gemuruhnya tak karuan ia akan tetap tumbuhkan rasa yang telah tenggelam, tumbuhkan asa yang sebelumnya padam, tumbuhkan cinta setelah temui sakit yang tak bisa diredam, tumbuhkan jiwa pada hakikat-hakikat yang seharusnya.
Kutancapkan satu risalah yang menjadi gema pada seluruh dada; sebagai upaya siuman dari rasa sakit, sebagai upaya obati luka meskipun pahit, sebagai upaya merdeka atas berbagai jerit. Jerit tangis setelah dijajah oleh kegelapan bengis berupa dunia.
Pada akhirnya; Tuntunlah aku…..
Tunjukkanlah aku……
Tetapkanlah aku.
Pondok Pesantren Darun Nun Malang