Sang Penguasa dan Cermin Ajaib

Sang Penguasa dan Cermin Ajaib

Oleh: Yahdil Falakhi Alkhikam

Di sebuah kerajaan yang megah, hiduplah seorang raja bernama Raja Parindra. Dia dikenal sebagai penguasa yang gagah, pintar, namun juga keras hati. Raja Parindra memerintah kerajaannya dengan tangan besi, mengambil keputusan tanpa mendengarkan nasihat atau keluhan rakyatnya. Setiap hari, ia duduk di singgasananya yang megah, mengenakan mahkota emas yang berkilauan, merasa yakin bahwa ia adalah raja terbaik yang pernah ada.

Namun, di balik segala kemegahannya, kerajaan mulai dilanda masalah. Rakyat hidup dalam kemiskinan, tanaman gagal panen, dan pedagang mengeluh karena sepinya pasar. Keluhan demi keluhan terdengar di seluruh penjuru negeri, namun Raja Parindra menutup telinganya. Baginya, semua itu hanyalah suara-suara sumbang yang tidak perlu didengarkan.

Suatu hari, seorang pria tua dengan pakaian lusuh datang ke istana. Ia membawa sebuah cermin kecil yang tampak biasa saja. Ia memohon kepada penjaga istana untuk bertemu dengan raja. Setelah menunggu cukup lama, Raja Parindra akhirnya mengizinkan pria tua itu masuk ke ruangannya.

“Apa yang kau inginkan, orang tua?” tanya Raja Parindra dengan nada angkuh. Orang tua itu membungkukkan badan. “Paduka Raja, hamba datang untuk memberikan sebuah hadiah. Ini adalah cermin ajaib. Cermin ini akan menunjukkan kebenaran yang tak terlihat oleh mata biasa. Dengan melihat ke dalam cermin ini, Paduka akan melihat lebih dari

sekadar wajah Paduka sendiri” ujarnya.

Raja Parindra tertawa meremehkan. “Cermin ajaib, katamu? Aku tak butuh benda seperti itu. Aku adalah raja! Aku sudah tahu segala kebenaran!” Namun, pria tua itu tetap tersenyum tenang. “Tentu, Paduka. Tapi, jika Paduka berkenan, cobalah melihatnya sekali saja.”

Dengan rasa penasaran dan sedikit kesombongan, Raja Parindra mengambil cermin itu dan memandang ke dalamnya. Awalnya, ia hanya melihat wajahnya sendiri, dengan mahkota yang berkilauan di kepalanya. Namun, semakin lama ia memandang, bayangan di dalam cermin mulai berubah. Ia melihat sosok seorang pria yang kesepian, terasing, dan tertutup oleh kegelapan. Di belakangnya, tampak bayangan-bayangan rakyat yang menderita menangis, dan meratap.

Raja Parindra terkejut dan membanting cermin itu ke lantai. “Apa ini?! Mengapa cermin ini menunjukkan hal-hal buruk tentang diriku?” teriaknya. Pria tua itu tetap tenang dan berkata, “Paduka, cermin ini hanya menunjukkan apa yang tidak terlihat oleh mata Paduka. Kebenaran yang selama ini Paduka hindari. Kebenaran tentang bagaimana rakyat Paduka hidup dalam penderitaan sementara Paduka hanya memikirkan kejayaan sendiri.”

Raja Parindra terdiam. Hatinya mulai terasa berat. Ia menatap cermin yang pecah di lantai, serpihannya memantulkan bayangan yang sama—bayangan tentang seorang raja yang tak pernah benar-benar tahu apa yang terjadi di luar istananya. Ia merasa marah, tapi bukan pada pria tua itu. Ia marah pada dirinya sendiri. Pria tua itu pun melanjutkan, “Paduka, kekuasaan bukanlah tentang berkuasa atas rakyat, melainkan melayani mereka. Cermin ini hanyalah alat, tapi ia mengingatkan Paduka bahwa keadilan dan kebenaran harus menjadi panduan dalam memerintah.”

Raja Parindra menarik napas dalam-dalam. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa rendah hati. “Apa yang harus kulakukan sekarang”; tanyanya dengan suara yang lebih lembut dari biasanya. Pria tua itu tersenyum, “Mulailah dengan mendengarkan. Bukalah hati Paduka, perhatikan keluhan rakyat, dan jadilah pemimpin yang mereka butuhkan, bukan pemimpin yang Paduka inginkan.”

Raja Parindra mulai menyadari betapa salahnya dirinya selama ini. Ia memanggil para penasihat dan mulai mendengarkan keluhan rakyat. Ia turun ke desa-desa, bertemu dengan rakyatnya, mendengarkan cerita-cerita mereka. Semakin sering ia mendengar, semakin ia menyadari bahwa kekuasaannya bukanlah tentang dirinya, melainkan tentang mereka yang dia pimpin.

Sejak hari itu, Raja Parindra berubah. Ia menjadi penguasa yang lebih bijak, lebih peduli, dan lebih adil. Rakyat pun mulai merasakan perubahan itu. Mereka mulai merasa dihargai, dan kerajaan yang dulu suram perlahan berubah menjadi negeri yang makmur. Raja Parindra kini sering duduk sendirian di ruangannya, tanpa mahkota. Ia tak lagi membutuhkan simbol-simbol kekuasaan untuk merasa berkuasa. Ia tahu, kekuasaan sejati

datang dari cinta dan kepercayaan rakyatnya. Dan cermin ajaib itu? Ia menyimpannya sebagai pengingat bahwa seorang penguasa sejati adalah mereka yang berani melihat kebenaran, meskipun kadang menyakitkan. Pria tua itu tak pernah terlihat lagi di istana, namun pesannya abadi di hati Raja Parindra. Kini, sang raja tahu bahwa kekuasaan yang sesungguhnya adalah kekuasaan yang diraih dengan hati yang tulus dan pikiran yang jernih.

Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Facebook
Twitter
WhatsApp